MAKALAH HADIST AHAD

Posted by at 0 komentar
MAKALAH
HADIST AHAD
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadist II yang di bimbing oleh
Dosen pengampu : Dr.H.Kasman,M.Fil.I


Di Susun Oleh Kelompok 5 :

                                                M.ZAENU MUTTAQY         U20162001
                                                AKHMAD FAIZIN               U20162021
                                                M.MUJIBUR ROHMAN      U20162008



FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
PRODI ILMU HADIST
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

TAHUN 2016-2017





BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Hadist dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas kaum muslimin dari berbagai mazhab Islam sebagai sumber ajaran Islam, karena dengan adanya hadis dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci dan spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadis-hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis yang ada berasal melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya, telah terdapat berbagai macam kitab hadis yang sering kali dijumpai keaneka ragaman redaksi (matan hadis) dan sanadnya, karena diantara kolektor hadis tersebut memakai kriteria dan standar masing-masing. Disinilah letak pentingnya pembelajaran hadis agar dapat diketahui bagaimana hadis tersebut diteliti dan lebih dari itu bagaimana meneliti sehingga dapat diketahui tata cara dengan benar pemakaian hadis sebagai dasar amalan.
Jadi dengan adanya ulumul hadist, umat Islam dapat mengetahui hadist yang Shahih, Hasan, Dha’if dan hadis-hadis palsu. Sebab tidak semua hadis itu boleh diamalkan dan dijadikan sebagai dasar hukum yang baik. Setelah Nabi wafat, banyak orang-orang yang membuat hadis-hadis palsu untuk kepentingan golongannya atau untuk menjatuhkan penguasa. Artinya hadist-hadist diciptakan untuk kepentingan politik semata.
Dengan adanya studi hadis, umat dengan mudah mendapatkan hadis-hadis yang diperlukan sebagai sumber hukum yang sah setelah Al qur’an. Begitu juga umat Islam dengan mudah membedakan antara lafaz Al quran dengan lafaz hadist, karena sering sekali terjadi akhir-akhir ini yang hadis dikatakan Al quran, sebaliknya Al quran disebut hadist.
Dalam makalah ulumul hadist ini akan membahas Hadis Ahad, yang diawali dari pengertian hadis ahad,macam-macam hadis ahad dan contohnya, pendapat ulama tentang hadis ahad dan analisis historis kemunculannya. 
1.2. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengertian hadist ahad ?
2.      Bagaimana klasifikasi hadist ahad ?
3.      Bagaimana kedudukan hadist ahad ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian hadist ahad.
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini :
ما لا يجتمع فيه شروط التواتر
Hadist yang tidak mencapai derajat mutawatir.[1]
Adapun yang dimaksud hadis ahad menurut istilah banyak ulama, antara lain sebagai berikut:
ما لم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحدا و اثنين او ثلاثا او اربعة او خمسة او الى غير ذلك من الاعداد التى لا تشعر بأن الخبر دخل بها فى خبر المتواتر

Hadist yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadis mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga,empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yangtidak memberi pengertian bahwa hadis itu denganbilangan tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir.[2]
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadist ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, hadist selain hadis mutawatir, atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i dan yaqin.
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang, tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.[3]
Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddiqi, hadist ahad didefinisikan sebagai khabar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadist mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.[4]
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah. Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad memakai hadis ahad syarat-syarat periwayatan yang sahih terpenuhi. Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya, dan amaliahnya tidak menyalahi hadist yang diriwayatkan. adapun Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadist ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.
Golongan qadariyah, rafidah, dan sebagian ahlu zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadist ahad hukumnya tidak wajib. Sementara itu, Al-Juba’i dari golongan Mu'tazillah menetapkan tidak wajib beramal, kecuali berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang. Sementara, ulama yang lain mengatakan tidak wajib beramal, kecuali hadist diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari empat orang pula.[5]
Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Qayyim mengatakan, “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Alquran. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan yang terdapat dalam Alquran. Kedua, menjelaskan maksud Alquran. Ketiga, menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam Alquran. Alternatif ketiga itu merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. yang wajib ditaati. Lebih dari itu, ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Alquran, as-sunnah, dan ijma’.”[6]
B.     Klasifikasi hadist ahad.
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqoh, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang, atau lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat mutawatir. Berdasarkan jumlah dari thabaqoh masing-masing rawi tersebut, hadist ahad ini dapat dibagi dalam tiga macam yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.[7]
1.      Hadist Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu' (sesuatu yang sudah tersebar dan populer). Adapun menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
ما رواه الثلاثة ولم يصل درجة التوتر
Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, tetapi bilangannya tidak mencapai derajat bilangan mutawatir.
Ada juga yang mendefinisikan hadis masyhur secara ringkas, yaitu:
ماله طرق محصورة بأكثر من اثنين ولم يبلغ حد التواتر  
Hadist yang mempunyai jalan yang terbatas, tetapi labih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis mutawatir.
Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas di kalangan masyarakat, lawan dari masyhur adalah Majhul yaitu hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang –orang yang tidak terkenal dalam kalangan ahli ilmu. Ada ulama yang memasukkan seluruh hadist yang telah populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali baik berstatus sahih atau dhaif  ke dalam hadis masyhur. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa hadist masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat pada keyakinan dan wajib untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya, tidak dikaitkan kafir.[8]
Hadis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan daif. Yang dimaksud dengan hadis masyhur yang telah memenuhi ke tentuan hadist sahih, baik pada sanad maupun matan-nya, seperti hadist dari Ibnu Umar :
اذاجاء احدكم الجمعة فليغسل (رواه البخارى)
Bagi siapa yang hendak melaksanakan salat Jum'at hendaklah ia mandi.
Contoh lain adalah hadis dari 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash, yangmendengar langsung dari Rasulullah saw. Bersabda :
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد , ولكن يقبض العلم بقبض العلماء , حتى اذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤسا جهالا , فسئلوا فافتوا بغير علم فضلوا وأضل
Sesungguhnya Allah swt. Tidakakan mencabut ilmu pengetahuan dengan langsung mencabutnya dari hambanya, tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut ulama, sehingga apabila tiada seorang alim yang tertinggal, manusia akan menjadikan orang-orang yang jahil sebagai pemimpin. Mereka (para pemimpin) ditanya soal-soal agama dan mereka memberikanfatwa tanpa berdasarkan pada ilmu. Karenanya mereka sesat dan menyesatkan.[9]
Adapun yang dimaksud dengan hadist masyhur hasan adalah hadist masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenaisanadmaupun matan-nya, seperti sabda Rasulullah saw:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim bail laki-laki maupun perempuan.
Adapun yang dimaksud dengan hadist masyhur dhaif  adalah hadis masyhur yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadis:
من عرف نفسه عرف ربه
Barang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia telah mengenal Tuhannya.[10]

a.       Macam-Macam Hadis Masyhur
Istilah masyhur yang ditetapkan pada suatu hadist, kadang-kadang bukan untuk menetapkan kriteria-kriteria hadist menurut ketentuan di atas, yaitu jumlah rawi yang meriwayatkannya, tetapi diterapkan pula untuk memberikan sifat suatu hadist yang dianggap populer menurut ilmu ahli  tertentu atau di kalangan masyarakat tertentu. Dari tujuan inilah, ada suatu hadist bila dilihat dari bilangan rawinya tidak dapat dikatakan sebagai hadist masyhur, tetapi bila dilihat dari kepopulerannya tergolong hadist Masyhur. Dari segi yang terakhir inilah, hadis masyhur dapat digolongkan dalam beberapa bagian di bawah ini:[11]
1.      Masyhur di kalangan ini ahli hadis, seperti hadis yang menerangkan  bahwa Rasulullah saw. membaca doa kunut sesudah ruku’ selama  satu bulan penuh dan berdoa atas golongan(kabilah) ri’il dan zakwan. Hadis  ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan riwayat Sulaiman At-Taimi dari Abi Mijlas dari Anas.
2.      Masyhur di kalangan ulama ahli hadis, ulama-ulama lain, dan di kalangan orang umum, seperti:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده (رواه البخارى و مسلم)

Seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya.
3.      Masyhur di kalangan ulama ahli fikih, seperti:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر (رواه مسلم)

Dari  Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. Melarang jual beli yang dalamnya terdapat unsur tipu daya.
Contoh lain seperti:
ابغض الحلال عند الله الطلاق
Perkara halal yang dibenci Allah ialah thalak.
4.      Masyhur di kalangan ahli ushul fiqh:
اذا حكم الحاكم فاجتحد ثم اصاب فله أجران واذا حكم الحاكم فاجتحد فاخطاء فله أجر (رواه مسلم)
Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian ia berjihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah,maka dia memperoleh satu pahala (pahala ijtihad).(H.R. Muslim).
Contoh lain seperti:
رفع عن أمتى الخطاء والنسيان وما استكر هوا عليهم (رواه الطبرانى عن ابن عباس)
Terangkatlah dosa dari ummatku karena kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang mereka lakukan karena terpaksa.[12]
5.      Masyhur di kalangan ahli sufi, seperti:
كنت كنزامحفيّا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk dan melalui mereka pun kenal kepadaku.[13]
Didalam buku Ilmu Hadis karangan Munzier Suparta mengatakan bahwa hadis diatas banyak ditemukan dalam buku-buku tasawuf sebagai landasan adanya aliran tasawuf.
6.       Masyur di kalangan ulama-ulama Arab, seperti ungkapan:
Kami (orang-orang Arab) yang paling fasih mengucapkan huruf Dhad (ض) sebab kami dari golongan orang Quraisy.
7.      masyhur dikalangan masyarakat awam,  contohnya:
العجلة من الشيطان
Tergesa-gesa itu perbuatan syetan.
Masih banyak lagi hadis yang kemasyhurannya hanya di kalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.
Banyak kitab yang ditulis berkaitan dengan persoalan ini, antara lain sebagai berikut:
1.      Kasyaf Al-Khifa dan Mazil Al-Ilbas oleh Ismail bin Muhammad Al- ‘Ajaluni (1162 H). Kitab ini memuat hadis-hadis shahih, hasan, dan saqim/dhaif, dan maudhu’, yang ada dan tidak ada sanadnya.
2.      Al-Maqasid Al-Hasanahfi Al-Ahadis Al-Musyurah karangan Al-Hafiz Syams Ad-Din Muhammad bin Abdul Ar-Rahman As-Akhawi (w.902 H).
3.      Asna Al-Mathalib oleh Syekh Muhammad bin Sayyid Barwisi.
4.      Tamyiz At-Tayibi oleh Ibnu Ad-Daiba As-Syailani.[14]
2.      Hadist aziz
Kata Aziz menurut etimologi, jika diambil dari kata , Ya'izzu berarti sedikit dan jika diambil dari kata , Ya'izzu berarti kuat. Adapun pengertian hadist aziz menurut terminologi ialah hadis yang diriwayatkan oleh  dua Orang rawi atau lebih dalam satu thabaqatnya. Definisi ini paling populer dan telah digunakan oleh Ibnu Hajar kitabnya  Al-Nukhbah Sedang menurut Ibnu Al-Shalah dan yang lain, bahwa hadis aziz ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang rawi, sebagaimana dikatakan oleh pengarang kitab Al-Baiquniyyah:
عزيز مروي إثنينى او ثلاثة مشهور مروي فوق ما ثلاثة
Hadis aziz ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua  atau tiga orang rawi, sedang hadis masyhur ialah hadis yan riwayatkan oleh lebih dari tiga orang rawi.
Contoh hadist azis :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قَال : لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والِده وولده والناس أجمعين.
Bahwasanya Rasulullah saw bersabda, 'Tidak semmpurna iman salah seorang di antara kamu sekalian sehingga aku lebih disukai olehnya dari pada orang tuanya dan anaknya. [15]
Hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah oleh Anas bin Malik kemudian diriwayatkan kepada dua orang yaitu, qatadah dan Abdul Aziz bin suhaib, dari qatadah diriwayatkan pada dua orang, yaitu Syu’bah dan Husain al-Muallim. Dan dari Abdul Aziz diriwayatkan kepada dua orang yaitu Abdul Warits dan Ismail bin ‘Ulaiyyah, dari keempat orang rawi ini diriwayatkan pada generasi dibawahnya lebih banyak lagi yang akhirnya sampai pada Imam Bukhari dan Muslim.[16]
3.      Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti jauh dari tanah air atau sukar dipahami. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang asing, sebab hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, atau disebabkan oleh adanya penambahan matan atau sanad. Hadis yang demikian disebut gharib karena keadaannya asing menurut pandangan rawi-rawi yang lain, seperti orang  yang jauh dari tempat tinggalnya. [17]
Adapun pengertian hadis gharib menurut para ahli sebagai berikut:
1.      Ulama ahli hadis dalam hubungan ini mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut.
.هو ما ينفرد بروايته راو واحد
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiridalam meriwayatkannya.
2.      Ibnu Hajar meberikan pengertian hadis gharib dalam kitab Nukhbatul Fikr sebagai berikut:
ما ينفرد بروايته شخص واحد فى ايّ موضع وقع التفرد به من السند
Yaitu hadis yang sendirian saja seorang perawi dalam meriwayatkan dan kesendiriannya itu terletak dimana saja dalam sanad.
  1. Menurut H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir mendefinisikan gharib sebagai berikut :
الحديث الغريب هو الحديث الذى انفرد بروايته شخص واحد فى ايّ موضع وقع التفرد من السند
Hadis yang pada sanadnyaterdapat seorang yang menyendiridalam meriwayatkannya di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Di tinjau dari segi bentuk penyendirian rawi, hadist ghorib di bagi dua yaitu :
a.       Gharib Muthlaq
ما ينفرد بروايته شخص واحد فى اصل سنده
Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada asal sanad.
Dikategorikan sebagai mutlak apabila penyendirian itumengenai personilnya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam suatu thabaqat. Penyendiriari hadis gharib mutlak iniharus berpangkal di tempat ashlu sanaa, yakni tabiin, bukan sahabat sebab yang menjadi tujuan membicarakan pendirian perawi dalam hadis gharib ialah untuk menetapkan apakah periwayatan dapat diterima atau ditolak. Sedangkan mengenai sahabat tidak perlu diperbincangkan, sebab telah diakui oleh jumhur ulama ahli hadis bahwa keadilan sahabat tidak perlu diragukan lagi, bahwa semua sahabat dianggap adil semuanya.
Contoh hadis gharib mutlak, antara lain adalah:
انّما الا عما ل بالنّيات
Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niatnya (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dari contoh hadis gharib tersebut diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar, dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar sajayang meriwayatkannya. Abdullah bin Dinar adalah seorang tabi’inyang hafidz, kuat ingatannya, dan dapat dipercaya.
b.      Gharib Nisby
Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat- sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain:
a. sifat keadilan dan kedhabitan (ketsiqatan) rawi.
b. kota atau tempat tinggal tertentu.
c. meriwayatkannya dari orang tertentu.
Apabila penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Gharib pada sanad dan matan.
b. Gharib pada sanadnya saja.
c. Gharib pada sebagian matannya,
Cara untuk menetapkan keghariban hadist.
Untuk menetapkan suatu hadis itu gharib, hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab Jami٠dan kitab Musnad, apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar.
Menurut istilah, ilmu hadis mutabi’ adalah hadis yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu).
Mutabi’ ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Mutabi’ tam, yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikutiperiwayatan guru (mutaba’) dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
2.      Mutabi’ qashir, yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sekali.
            Adapun syahid adalahMeriwayatkan sebuah hadis lain sesuai dengan maknanya.
Hadist syahid ada dua macam, yaitu:
1.      Syahid bi Al-Lafzhi, yaitu bila matan hadis yang diriwa­yatkan oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadis fard-nya.
2.      Syahid bi Al-Ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwa­yatkan oleh sahabat lain itu, hanya sesuai dengan maknanya.
C.    Kedudukan hadist ahad dan pendapat ulama’ tentang hadist ahad.
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad antara lain :
1.      Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2.      Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberi faedah dhan. Oleh karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3.      Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.      Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajibdiamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aga’id (akidah).
5.      Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum Al-Quran. Ahlu Zhahir (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis ahad.[18]
BAB III
KESIMPULAN
ü  Dari pembahasan makalah ini dapat kami simpulkan bahwa hadis Ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.
ü  Klasifikasi Hadis Ahad terbagi menjadi Masyhur dan Ghairu Masyhur. Hadis Masyhur adalah sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Ada yang Masyhur di kalangan ini ahli hadis, Masyhur di kalangan ulama ahli hadis, Masyhur di kalangan ahli ushul fiqh, Masyhur di kalangan ahli sufi, Masyur di kalangan ulama-ulama Arab, dan Masyhur dikalangan masyarakat awam, dan masih banyak lagi hadis yang kemasyhurannya di kalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.
ü  Hadis ghairu masyhur terbagi menjadi hadis ‘Aziz dan hadis gharib dan hadis gharib terbagi lagi menjadi gharib muthlaq dan gharib Nisby.

















DAFTAR PUSTAKA
Anwar , Moh., Ilmu Musthalah Hadits, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981.
Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalah Hadits, Bandung, Al-Ma’arif, 1974.
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010.
Ichwan , Mohammad Nor, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,  Semarang, Rasail Media Group Semrang, 2013.
Solahuddin , M. Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2008.


















[1] Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalah Hadits (Bandung:  Al-Ma’arif, 1974), hlm. 86.
[2]  Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 91.
[3]  Mudaris,Ilmu hadist.(bandung : Pustaka setia,2005),hlm.126.
[4] Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Semarang:  Rasail Media Group Semrang, 2013), hlm. 182-183.
[5] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 93.
[6] Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Semarang:  Rasail Media Group Semrang, 2013),hlm. 185.
[7] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 134.

[8] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm 94.
[9] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm 95.
[10] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm 134.
[11] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.96.
[12] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 135.
[13] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.97.
[14] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005) h. 28.
[15] Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hlm. 24.
[16] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) ,hlm. 117.
[17] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 135.
[18] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.139-141.

tags :

0 Komentar untuk "MAKALAH HADIST AHAD"

Back to Top