MAKALAH
Pemikiran Imam Al-Ghazali
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam yang
Di Bimbing oleh
Dosen
Pengampu : Dr. Fawaizul Umam, M,Ag,
Di
Susun Oleh :
MUSFIK ALAMSYAH U20162006
DEYIS MAGFIROTUL H. U20162014
SITI KHOLIDA U20162029
FAKULTAS
USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
PRODI
ILMU HADIST
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
TAHUN
2017-2018
DAFTAR ISI
COVER ...................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I ........................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
Latar Belakang........................................................................................................... 1
Rumusan Masalah....................................................................................................... 1
BAB II....................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN........................................................................................................ 2
Biografi Imam Al ghazali........................................................................................... 2
Al ghazali seorang filusuf........................................................................................... 4
Corak tasawwuf al ghazali......................................................................................... 7
Pemikiran al Ghzali..................................................................................................... 9
BAB III...................................................................................................................... 8
PENUTUP................................................................................................................ 10
Kesimpulan............................................................................................................... 10
Daftar Pustaka.......................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa
tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina,
Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini
memang tidak bisa dihindarkan, karena
dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada
mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali,
seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan
filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang
mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan
banyak, mulai dari pikiran beliau dalam
bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas
tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya,
pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah Biografi Imam
Al Ghazali ?
2.
Apakah Al-Ghazali Seorang
filusuf ?
3.
Bagaimana corak tasawwuf
imam Al ghzali ?
4.
Bagaimana pemikiran imam Al
Ghazali ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Imam Al-Ghazali
Al ghazali, Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al-Thusi al-Ghazali. lahir pada tahun 450 H/1058 M, di desa Thus,
wilayah Khurasan, Iran. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua Z), artinya
tukang pintal benang, Karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang pintal
benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu Z), diambil dari kata
Ghazalah nama kampung kelahirannya.[1]
Pada mulanya, Al-Ghazali belajar di tempat asalnya, Thus. Disini ia belajar ilmu fiqh pada seorang ulama yang
bernama Ahmad ibn Muhammad Ar-Razakani. Setelah itu, ia belajar di Jurjan pada
Imam Abu Nashr al-Isma’ili, di mana ia menulis suatu ulasan dalam ilmu fiqh. Al-Ghazali
melanjutkan studinya di Naisabur pada seorang ulama terkenal, Imam Al-Haramain
Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Di sini, ia belajar mazhab-mazhab fiqh, retorika,
logika dan juga ilmu filsafat, sehingga melebihi kawan-kawannya. Dan setelah
Imam Al-Juwaini meninggal tahun 478 H.
Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu’askar untuk bertemu dengan
Nizhamu’I-Muluk Perdana Menteri Bani Saljuk. Mu’askar adalah suatu lapangan luas
di sebelah Kota Naisabur dimana didirikan barak-barak militer oleh Nizham
Al-Muluk. Di sini, Al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan olehnya,
terutama karena kemampuannya dalam mengalahkan para ulama setempat dalam
munazharah.[2]
Dengan bantuan Nizhamu’I-Mulk, Al-Ghazali pergi ke kota Baghdad pada
tahun 484 H/1090 M. Nizam Al-Muluk akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun 484
H/1091 M, sebagai guru besar pada perguruan Tinggi Nizamiyah di kota Baghdad. Ia juga mengajar di
perguruan tinggi tersebut. Disamping
menjadi guru besar di Nizamiyah, Al-Ghazali diangkat sebagai mufti untuk membantu pemerintah dalam menyelesaikan berbagai
persoalan yang muncul dalam masyarakat. Ia melaksanakan tugasnya dengan baik
sekali, sehingga banyak para penuntut ilmu memadati halqahnya. Namanya menjadi
lebih dikenal di kawasan itu karena berbagai fatwa agama yang dikeluarkannya.
Di samping mengajar, ia mulai berpikir dan menulis dalam ilmu fiqh dan Al-Kalam
dan juga kitab-kitab yang berisi sanggahan terhadap aliran-aliran Batiniyyah,
Ismailiyyah dan falsafah.
Akan tetapi, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M.
Yakni krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifah, baik yang
empiris maupun yang rasional. Periode ini menandai perubahan orientasi
Al-Ghazali, yang memilih melakukan ritual sufistik untuk mencapai ketenangan
hati. Al-Ghazali menjelaskan dalam otobiografinya mengapa ia meninggalkan karir
cemerlang dan berpaling ke tasawuf. Hal itu kemudian ia jelaskan bahwa
kesadarannya meyakinkan dia bahwa tidak ada cara untuk mendapatkan pengetahuan
sejati dan ketenangan hati kecuali melalui sufisme.[3]
Kesadaran Al-Ghazali ini juga bisa
berkaitan dengan kritiknya terhadap filsafat Islam. Bahkan, penolakannya
terhadap filsafat Islam bukan merupakan sebuah kritisisme dari sudut pandang
theologi orthodoks saja. Pertama, sikap Al-Ghazali terhadap filsafat terlihat
ambivalen. Pada satu sisi, Al-Ghazali menerima beberapa bagian dari filsafat,
seperti ilmu alam dan logika. Al-Ghazali berusaha menguasai filsafat untuk
kemudian melakukan kritikan terhadapnya. Pentingnya kritiknya tersebut terletak
pada demonstrasi filosofisnya yang menyatakan argumen –argumen yang dikemukakan
para filosofof metafisis tidak dapat bertahan dalam pengujian. Namun di sisi
lain, ia juga dipaksa mengakui bahwa kepastian-kepastian agama seperti
kebenaran wahyu, alam gaib, dan kenabian tidak dapat diperoleh dengan
pembuktian nalar.[4]
Pencarian kebenaran Al-Ghazali ini kemudian dilakukan selama 10 tahun di
menara masjid Damaskus. Setelah melakukan suluk sufinya, pemikiran Al-Ghazali
yang sebelumnya banyak dihiasi dengan argumentasi teologis dan filsofis
mendapatkan warna baru dengan sentuhan sufistik. Hal ini semakin melengkapi
konstruk rancang bangun pemikirannya. Atas kecemerlangannya, julukan hujjatul
Islam disematkan kepada Al-Ghazali sebagai apresiasi karya-karyanya yang sangat
ensiklopedis.
Krisis itu tidak lebih dari pada dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam
studi tentang sekte-sekte teologi, ilmu kalam, falsafah serta menulis berbagai
kitab dalam bidang falsafah, batiniyyah, fiqh dan lain-lain. Namun, Al-Ghazali
tidak merasa puas terhadap kerjanya itu, lalu ia meninggalkan kota Baghdad
menuju Damaskus, di mana ia tinggal selama lebih kurang dua tahuh. Dalam masa
ini, ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwah dan beribadah serta beri’tikaf
di Mesjid kota ini, mengurung diri di menara mesjid pada waktu siang hari. Lalu
ia berpindah ke Baitulmakdis untuk melanjutkan khalwah dan ibadahnya kepada
Allah.
Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil
akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu
ahmad Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam
Thaberran bersisian dengan makam penyair besar Firdausi. [5]
2.
Al-Ghazali Seorang Filosof?
Polemik Al-Ghazali dengan para filosof, yang ia tuliskan dalam karyanya
yang terkenal, Tahafut al-Falasifah membuat sebagian orang memandang bahwa
Al-Ghazali adalah orang yang anti filsafat, anti rasio, dan seorang ulama
orthodoks semata. Dari sini kemudian Al-Ghazali banyak mendapat kecaman karena
dituding sebagai seorang yang bertanggung jawab memundurkan capaian intelektual
umat Islam. Dalam buku tersebut Al-Ghazali menerangkan kelemahan-kelemahan
argumentasi para filosof. Apakah mungkin satu karya yang mengkritik filsafat
dapat disebut sebagai buku filsafat?
Al-Ghazali sendiri beberapa kali kesempatan mengatakan bahwa tujuannya
menulis buku tersebut memang untuk merobohkan bangunan filsafat. Lantas apakah
mungkin pengarang seperti ini dapat digolongkan sebagai seorang filosof ?
Jawaban dari persoalan ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama apabila
filsafat diartikan sebagai aliran pemikiran Ibnu Sina dan Al-Farabi serta
beberapa pemikir sealiran yang berbicara masalah-masalah ketuhanan, metafisika,
jiwa manusia, tanpa melihat proses deduksi dan metode yang digunakan, maka bisa
dikatakan bahwa Al-Ghazali bukanlah seorang filosof dan buku karyanya tersebut
bukanlah buku filsafat, karena berisi hantaman terhadap pemikiran kedua tokoh
filsafat tersebut.[6]
Dasar dari argumen pertama ini dapat dipertanyakan, yaitu apakah lapangan
filsafat hanyalah apa-apa yang dibicarakan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina saja?
Bagaimana dengan pendapat para filosof lainnya? Apakah bidang garapan filsafat
hanya terbatas pada persoalan metafisika semata? Lalu jika tujuan berfilsafat
adalah dalam rangka mencapai kebenaran lewat akal, maka apakah yang dilakukan
Al-Ghazali bukan sebuah bentuk pencarian kebenaran melalui logika?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas dapat diuraikan lebih jelas
apabila kita membuka simpul ikatan yang mengunci bidang kajian filsafat
terbatas pada masalah ketuhanan dan metafisika saja. Jika kita perluas
pengertian filsafat sebagai usaha untuk menemukan kebenaran menggunakan akal,
maka upaya Al-Ghazali ini bisa dikatakan sebagai upaya filosofis.
Pendapat-pendapat dalam disiplin filsafat sangatlah beragam, akan sangat
mengherankan apabila dibatasi hanya pada Al-Farabi dan Ibnu Sina, meskipun kita
tidak dapat menyangkal kebesaran kedua sosok pemikir muslim tersebut.[7]
Dalam buku tahafutnya tersebut Al-Ghazali menunjukkan bahwa
argumen-argumen yang disebutkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina penuh dengan
kerancuan. Al-Ghazali melontarkan kritikannya tersebut melalui metode yang sama
dengan yang digunakan Ibnu Sina. Bahkan beberapa penstudi menyatakan bahwa
argumentasi yang diberikan Al-Ghazali jauh lebih detail dan mendalam dari Ibnu
Sina dan Al-Farabi. Jadi dapat dilihat disini bahwa kritikan Al-Ghazali bisa
digolongkan ke dalam usaha filsofis karena melihat dari metode dan tujuan yang
hendak diraihnya.
Dalam lapangan filsafat, tradisi kritisisme merupakan salah satu tradisi
yang lumrah. Bahkan kritisisme dapat dianggap sebagai inti dari kegiatan
berfilsafat, karena mustahil suatu pemikiran manusia akan tetap berdiri sebagai
entitas yang kebenarannya relevan dengan perubahan masa. Dengan adanya tradisi
kritisisme tersebut, maka kesalahan-kesalahan yang dilakukan para pendahulu
dapat dikoreksi dan dibenarkan dengan pemikiran yang datang di masa
terkemudian. Sikap skeptis Al-Ghazali tersebut bisa disamakan dengan kritikan
Aristoteles terhadap teori idea yang dikembangkan gurunya, Plato. Dan apakah
dengan kritikan Aristoteles kepada Plato tersebut lantas Aristoteles bisa
dianggap menolak filsafat? Dan apakah kemudian bangunan filsafat bisa roboh
secara keseluruhan? Mungkin pernyataan Aristoteles bisa kita perhatikan: “Aku
mencintai kebenaran. Dan aku mencintai Plato. Aku juga mencintai kebenaran yang
ada pada diri Plato. Namun jika disuruh memilih, aku akan lebih memilih
kebenaran daripada Plato”.[8]
Selain itu, pernyataan bahwa
Al-Ghazali adalah seorang yang gigih menentang filsafat tidaklah salah
sepenuhnya apabila kita hanya menelaah buku tahafut saja. Namun menjadi lain
persoalan jika kita melihat dan membandingkannya dengan karya-karya Al-Ghazali
yang lain, dimana dengan jelas terlihat bahwa pemikir berkebangsaan Persia ini
adalah seorang rasionalis tulen. Kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof tidak
lantas diartikan bahwa ia seorang anti rasio. Kritisisme cendekiawan muslim ini
sejatinya tidak dalam rangka membunuh kreativitas intelektual umat Islam karena
ia sendiri memberikan apresiasi yang positif terhadap akal sebagai salah satu
instrumen mencari pengetahuan.
3.
Corak
tasawuf Al-Gazali
Yang
menarik dalam sejarah hidup Al-Gazali adalah kehausannya akan segala macam
pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mengetahui hakikat
sesuatu. Al-Gazali tidak percaya akan kebenaran semua macam pengetahuan,
kecuali yang bersifat indrawi dan axioma. Akan tetapi akhirnya, terhadap kedua
macam pengetahuan itu pun, ia tidak mempercayainya. Ia berada dalam
keragu-raguan terhadap kedua pengetahuan itu. Namun sikap keragu-raguannya itu
hanya berlangsung 2 bulan saja kemudia ia bisa sembuh dari keragu-raguan itu bukan
karena dalil melainkan karena cahaya Tuhan yang dilimpahkan-Nya dalam hatinya.
Cahaya inilah yang menjadi kunci dari segala pengtahuan bagi Al-Gazali.setelah
Al-Gazali mendapatkan cahaya tersebut maka membuka fase kehidupan baru bagi
Al-Gazali dimana tasawuf mendapat tempat seluas-luasnya pada dirinya.[9]
Tasawuf
dengan sikap yang negatif dan asing dari semangat jiwa islam, sebagaimana yang
terlihat pada aliran-aliran tasawuf ektrim, yag menimbulkan reaksi dan
kemarahan islam sunni. Maka datanglah Al-Gazali untuk memasukkan tasawuf dalam
pengakuan islam sunni. Ia memasuki kehidupan tasawuf, namun dirinya tidak
melibatkan diri dalam aliran tasawuf inkarnasi, atau tasawuf panteisme dan
buku-buku yag dikarangnya juga tidak pula keluar dari jalan islam yang benar.
Pengetahuan
yang dimiliki oleh Al-Gazali di dasarkan atas rasa yang memancar dalam hati,
bagaikan sumber air jernih, bukan dari hasil penyelidikan, tidak pula dari
argumen-argumen ilmu kalam.
Al-Gazali
menentang dengan tegas orang-orang tasawuf yang meremehka upacara agama.
Sebaliknya ia menganggap upacara tersebut sebagai suatu kewajiban yang harus
dijalankan untuk mencapai kesempurnaan. Menjalankan upacara-upacara itu tidak
hanya cukup dengan pekerjaan-pekerjaan lahiriah, melainkan dengan penuh pengertian
akan makna-makna dan rahasianya yag tidak didapati dalam buku-buku fiqih.
4.
Pemikiran
Al-Ghazali
1. Epistimologi
Pada mulanya Al-Gazali beranggapan bahwa
pengetahuan itu adalah hal-hal yang bisa dilihat dengan mata tetapi kemudian
ternyata panca indra juga berdusta. Contohnya bayangan rumah, kelihatannya tak
bergerak padahal terbukti bayangan itu berpindah tempat. Demikian juga dengan
bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi perhitungan menyatakan
bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi. Al-Ghazali kemudian tidak
mempercayai alat indra lagi, kemudian ia meletakkan kepercayaannya kepada akal.
Namun, ia juga tidak percaya kepada akal karena pada saat bermimpi orang
melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar
bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar. [10]
Al-ghazali
dalam proses pencarian ini ada kesan inkoherensi. Ia ingin mencari kebenaran
yang universal melalui keyakinan, namun yang tercapai adalah kebenaran
individual melalui al-dzawq. Dalam menceritakan proses pencariannya ini ia
mengajak semua orang untuk meragukan taklid, indra dan akal untuk mencari
sumber pengetahuan baru yang dapat di gunakan untuk mencapai kebenaran yang
universal, tetapi jalan keluar yang di perolehnya dengan menemukan intuisi atau
al-dzawq, menunjukkan bahwa yang di selamatkan dari keraguan yang telah ia
ciptakan itu adalah orang-orang tertentu saja. Sebab, intuisi dan segala yang
di peroleh dari padanya bersifat individual dan di capai oleh orang-orang
tertentu.
Menurut Al-ghazali, lapangan filsafat ada
enam, yaitu matematika, logika, fisika, etika, dan metafisika. Hubungan
lapangan-lapangan tersebut berbeda dengan agama, ada yag berlawanan dan ada
yang tidak berlawanan. Al-ghazali berpendapat bahwa agama tidak melarang atau
memrintahkan mempelajari matematika karna ilmu ini adalah hasil pembuktian
pemikiran yang tidak bisa di ingkari sesudah di ketahui dan di fahami. Logika
menurut al-ghazali, tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika besisi
penyelidikan tentang dalil-dalil pembuktian, silogisme, syarat-syarat
pembuktian, definisi. Semua persoalan ini tidak perlu di ingkari, sebab masih
sejenis dengan di pergunakan mutakallimin. Ilmu fisika Al-ghazali, membicarakan
tentag planet-planet, unsur-unsur tunggal, benda-benda tersusun, sebab-sebab
perubahan kedokteran. dalam agama tidak di syaratkan mempelajari ilmu
kedokteran sama halnya dengan ilmu fisika tidak perlu untuk di ingkari, kecuali
dalam empat persoalan yaitu yang dapat di simpulkan bahwa alam semesta ini di
kuasai oleh tuhan, tidak bekerja denga dirinya sendiri, tetapi bekerja karna
tuhan, dzat penciptanya.[11]
Selanjutnya Al-ghazali membagi filsuf dalam
tiga golongan, yaitu materialis, maturalis dan theis. Menurut Al-ghazali
golongan yang pertama yaitu materialis, mereka tidak beragama karena mereka
tidak mempercayai pencipta dan pengatur dunia dan meyakini bahwa dunia ini
telah ada sejak dulu. Peristiwa-peristiwa alam adalah perubahan yag terus
menerus. Naturalis dalam hal kepercayaan surga, neraka dan hari akhirat mereka
memandang itu sebagai dongeng dan khayalan. Menurut Al-ghazali golongan ini
juga tidak religius ( zindiq ). Kaum theis menurut Al-ghazali masih menyimpan
sisa kekafiran dan paham bid’ah.
2. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari
karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah
mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa
mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal
menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka
disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak
dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan
sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan
metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan
yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai
menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil
kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf
tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang
hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang
fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian,
Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di
bidang lain, seperti logika dan matematika.[12]
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat
berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Dan berikut ini merupakan persoalan
metafisika yang berlawanan dengan islam dan yg oleh karnanya para filosof harus
dinyatakan sebagai orang atheis.[13]
1. Qadimnya
alam
2. Tidak
mengetahuinya tuhan terhadap soal soal peristiwa kecil
3. Pengingkaran
terhadap kebangkitan jasmani.
3.
Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara
sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin.
Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu.
Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf
yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau
Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar
manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti
pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan
sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara
dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip
filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang
tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.[14]
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Daftar
Pustaka
Amrouni.2000. Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali. Jakarta: Riova
Cipta.
Daudy, Ahmad.1992. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: PT.Bulan
Bintang
hanafi, Ahmad.1990. pengantar filsafat islam, Jakarta:PT Bulan
Bintang.
sholeh,Khudori.2004. wacana baru filsafat islam. Jogja:Pustaka
pelajar.
[1] Khudori sholeh, wacana
baru filsafat islam,(Jogja;Pustaka pelajar. 2004).h 80
[2] Ahmad hanafi, pengantar
filsafat islam, (Jakarta:PT Bulan Bintang.1990). h 135
[3] Khudori sholeh, wacana baru filsafat
islam,(Jogja;Pustaka pelajar. 2004).h 80
[4] Ibid h 135
[5] Ahmad Daudy,Kuliah Filsafat Islam (Cet.3 Jakarta
PT.Bulan Bintang 1992)h,.97-99
[6] Ahmad hanafi, pengantar
filsafat islam, (Jakarta:PT Bulan Bintang.1990). h 141
[7] Ibid.h 152
[8] Ahmad Daudy,Kuliah Filsafat Islam (Cet.3 Jakarta
PT.Bulan Bintang 1992)
[9] Ahmad Hanafi,
Pengantar Filsafat Islam, Op. Cit. h.
138
[10] Amrouni. Pemikiran dan
Dokrin Imam Al-Ghazali ( Cet I. Jakarta Riova Cipta, 2000).h 78
[11] Amrouni. Pemikiran dan
Dokrin Imam Al-Ghazali ( Cet I. Jakarta Riova Cipta, 2000).h79
[12] Ibid. h 51
[13] Ahmad hanafi, pengantar
filsafat islam, (Jakarta:PT Bulan Bintang.1990). h 138
[14] Amrouni. Pemikiran dan
Dokrin Imam Al-Ghazali ( Cet I. Jakarta Riova Cipta, 2000).h 85
1 Komentar untuk "MAKALAH "Pemikiran Imam Al-Ghazali""
assalamualaikum mohon ijin kopy yah buat dipelajari.