MAKALAH
انما الاعمال بالنيات
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits
Tahlili Yang dibimbing oleh Dosen Moh. Barmawi, S.Th.I., M.Hum,
Disusun Oleh:
Muhammad Sadid Nidlom
F (U20163030)
Muhammad Qowiyyul Ibad (U20163029)
Muhammad Zainu Muttaqi (U20163032)
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
PRODI ILMU HADITS
IAIN JEMBER
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, yang
dengan-Nya kita memohon pertolongan dan meminta perlindungan dari segala
kejahatan dan juga keburukan amal perbuatan . Sholawat dan salam semoga
terlimpah-curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Yang mana dengan
perantara wasilah kepadanya penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagai
tugas dari mata kuliah Hadits Tahlili. Pada kesempatan ini kami ucapkan terimakasih
kepada Dosen Moh. Barmawi, S.Th.I., M.Hum, selaku pembimbing dan pengarahan,
sehingga makalah ini dapat selesai dengan baik serta teman-teman yang juga
turut membantu dan memberi apresiasi terhadap makalah yang demikian
sederhanaini, sehingga kami bisa bekerja sama mengerjakan tugas kelompok kami
yang berjudul انما الاعمال بالنيات
Dengan demikian telah tergambar jelas bahwa
judul yang kami bawakan ini merupakan gambaran bentuk permasalahan didalam
memahami hadits yang sering kita jumpai ini. Oleh sebab itu dalam makalah ini
kami akan menjelaskan berbagai materi yang menarik dan bisa menjadi bahan untuk
disimak bersama. Penulis memohon kritik serta saran untuk lebih bisa menyempurnakan
makalah ini karena kekurangan dari pemahaman kami mengenai apa yang ada
didalamnya, baik dari segi kemantapan materi maupun penerjemahan dari berbagai
referensi, selanjutnya penulis berharap makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat
sebagai bahan renungan maupun bahan rujukan terutama bagi yang membutuhkan.
Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Jember, 17 Februari 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Sampul.................................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1.1. Latar belakang..................................................................................................... 1
1.2.Rumusan masalah................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A.
Hadits النما الاعمال بالنيات dan terjemahannya........................................................... 2
B.
Bahtsu Al-Lughowiyyah ...................................................................................... 2
C.
Asbab Al-Wurud................................................................................................... 4
D.
Kedudukan Hadits................................................................................................ 4
E.
Syarah Hadits........................................................................................................ 5
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 10
3.1. Kesimpulan......................................................................................................... 10
Daftar Pustaka..................................................................................................................... 11
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Niat
adalah menyengaja untuk melakukan sesuatu yang mana hal tersebut bersamaan
dengan awal dari sebuah perbuatan. Begitulah definisi niat yang sering kita
dengar didalam materi kajian fiqh. Mungkin definisi yang seperti ini hanya
masyhur pada kalangan pesantren saja, terutama bagi mereka yang sangat tekun
mendalami ilmu fiqh. Namun, hadits mengenai tentang niat ini cukup banyak
diketahui oleh khalayak, bukannya Cuma orang pesantren saja, melainkan orang
awampun sudah akrab dengan hadits yang berbunyi انما الاعمال بالنياتini.
Banyaknya
perspektif orang mengenai makna yang dikandung oleh hadits ini membuat kami
tertarik untuk mengupasnya lebih dalam lagi, bukan dengan ranah fiqh tetapi
melaui ranah yang lebih melebar lagi, yakni interpretasi dari para ulama’
mengenai hadits yang telah masyhur ini. Hal ini kami lakukan demi untuk
mengetahui apakah niat yang disebut didalm hadits tersebut hanya dapat diartikan
sebagaimana yang ada didalam materi fiqh atau malah bisa lebih luaslagi. Apakah
dari sisi kontekstual hadits ini dapat berpotensi juga didalam interpretasi
lanjutan dari apa yang sudah dilakukan oleh ulama’ terdahulu. Oleh karena itu
kami menyajikan berbagai rumusan masalah yang akan kita kupas secara lebih
mendalam lagi mengenai hal ini yang mana hal tersebut sebagai berikut.
Rumusan Masalah
- Bagaimanakah
Bahtsu Al-Lughowiyyah didalam hadits انما الاعمال
بالنيات
- Bagaimanakah
Asbab Al-Wurud dari hadits انما الاعمال بالنيات
- Bagaimanakah
Kedudukan Hadits انما الاعمال بالنيات
- Bagaimanakah
Syarah dari Hadits انما الاعمال بالنيات
BAB II
PEMBAHASAN
- Al-Hadits
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَهَّابِ، قَالَ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ،
يَقُولُ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ،
يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ،
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ
يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
Diceritakan
dari Qutaibah bin Sa’id, diceritakan dari Abdul Wahhab dia berkata: aku
mendengar Yahya bin Sa’id berkata: Muhammad bin Ibrahim telah memberi khabar
kepadaku bahwasanya dia mendengar Alqomah bin Waqqos Al-Laitsi berkata: aku
mendengar Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung
niatnya, dan bagi seseorang yaitu apa yang diniatkannya. Maka barang siapa yang
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau
karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang
ditujunya”.[1]
- Bahtsu Al-Lughowiyah
Lafadz
الاعمال mencakup terhadap
setiap pekerjaan yang dilakukan oleh lisan dan anggota tubuh yang lainnya,
Adapun
lafadz النيات dengan menggunakan
lafadz jama’ menunjukkan arti yang lebih luas daripada sekedar menyengaja saja,
melainkan berupa dorongan hati yang diakibatkan oleh selarasnya sesuatu yang
terlihat dengan tujuan yang ada, baik berupa menarik manfaat maupun menolak mudhorot
darinya. النية sendiri memiliki arti
kehendak yang ter-arah, seperti mengerjakan sesuatu untuk mengharapkan ridlo
Allah dan tunduk terhadap hukumNya. Dan lafadz إنما
didalam hadits tersebut berfaidah untuk mengokohkan dan membatasi pekerjaan
dengan niat, baik untuk menghasilkan tujuan agama maupun tujuan duniawi. [2]
Adapun
lafadz الهجرة memiliki arti
meninggalkan suatu tempat menuju tempat lainnya yang menjadi tujuannya, hijrah
ialah memisahkan diri dari yang lainnya dengan menggunakan badan, lisan, ataupun
hatinya. Adapun penggunaan hijrah yang ditunjukkan oleh syari’ memiliki arti
meninggalkan tempat yang tidak aman menuju tempat yang aman sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian sahabat ketika meninggalkan mekkah menuju negeri
habasyah, meninggalkan negara kafir menuju negara islam sebagaimana
berhijrahnya shahabat dari mekkah menuju madinah yang kemudian disusul oleh
Rasulallah, dan juga meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah.
Adapun
lafadz الدنيا
merupakan bentuk muannats dari lafadz الأدنى yang
diambil dari lafadz الدنو
dan inilah yang lebih dekat dengan benar. Ketika lafadz الدنيا disebut secara mutlak(tidak dibatasi) maka
memiliki arti kehidupan yang utama bagi manusia dan bagi para makhluq.[3]
Menurut
As-Suyuthi didalam menysarahi hadits tersebut menyebutkan bahwasanya didalam
lafadz إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِpasti terdapat
lafdz yang dibuang, yang mana lafadz tersebut merupakan muta’allaq(tempat
kembali) dari huruf jer بِ yang terdapat didalam
hadits diatas, karena seyogyanya bagi huruf jer pasti memiliki muta’allaqnya
masing-masing terkecuali huruf jer yang zaidah.
Adapun
perkiraan lafadz yang dibuang tersebut terdapat beberapa fariasi perkiaraan
dari beberapa pendapat yang ada. Ada yang memperkiran bahwa lafadz yang dibuang
ialah تُعْتَبَرُ
, ada juga yang memperkirakan dibuangnya lafadz تَصِحُّ , dan ada pula
yang memperkirakan lafadz تَكْمُلُ
. dan hal-hal mengenai pembuangan ini akan berakibat terhadap sebuah hukum yang
akan ditimbulkan dari hadits tersebut.[4]
- Asbab Al-Wurud
Zubair
bin bakar didalam kitabnya yang berjudul Akhbar Al-Madinah berkata “muhammad
bin hasan Al-Harits menceritakan kepadaku dari ayahnya, dia berkata “ ketika
rasulallah sampai di madinah, para shahabat sedang dilanda penyakit tidak enak
badan, kemudian majulah seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan dari
golongan muhajirin, lalu Rasulallah duduk diatas mimbar kemudian beliau
bersabda “wahai para manusia,sesungguhnya setiap segala sesuatu itu tergantung
dari niatnya” sebanyak tiga kali “Maka barang siapa yang berhijrah kepada Allah
dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa
yang hijrahnya itu Karena mencari dunia atau karena seorang wanita yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” kemudian Rasulallah
mengangkat kedua tangannya seraya berkata “ Ya Allah, pindahkanlah
penyakit/wabah dari kami”[5]
Imam
Tabhrani meriwayatkan dalam Mu’jam al-Kabir dengan sanad yang kuat,
diriwayatkan dari ibu mas’ud ia berkata: “ada seseorang diantara kami yang
melamar seorang wanita bernama Ummu Qais, namun ia menolak untuk menikah
dengannya, kecuali jika laki-laki tersebut mau berhijrah. Akhirnya, ia pun ia
berhijrah lalu menikahinya, karnanya, kami menamainya Muhajir Ummi Qois (Orang
yang berhijrah karna Ummu Qois).”[6]
- Kedudukan Hadits
Hadits
tentang niat diatas merupakan salah satu dari tiga hadits yang paling utama.
Abu Abdullah berkata: tak ada satu haditspun didalam hadits-hadits nabi yang
lebih banyak faedahnya kecuali hadits ini. Ibnu mahdi dan yang lainnya[7]
bersepakat bahwa hadits ini merupakan sepertiga dari islam karena sesungguhnya
prilaku para hamba itu tercakup menjadi tiga bagian, yakni : hati, lisan, dan
anggota tubuh lainnya, dan niat adalah salah satu dari ketiga hal tersebut dan
merupakan yang paling terpenting diantara ketiganya. Adapun hadits lainnya yang
tergolong tiga hadits yang paling utama yaitu hadits yang berbunyi من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردٌّ dan juga hadits
yang berbunyi الحلال بيّن والحرام بين
.[8]
Para
penghafal hadits berkata bahwasanya hadits ini tidak sah dari nabi kecuali dari
riwayat umar bin khattab, dan tidak sah pula dari umar bin khattab kecuali dari
riwayat A’lqamah bin Waqqas, dan tidak sah pula dari ‘Alqamah bin Waqqas
kecuali dari riwayat muhammad bin ibrahim At-Taimiy, dan tidak sah pula dari
Muhammad bin Ibrahim kecuali dari riwayat Yahya bin Sa’id Al-Anshori, dan dari
Yahya Al-Anshori tersebarlah hadits tersebut hingga lebih dari dua ratus orang
dan kebanyakan dari mereka merupakan seorang imam. Oleh karena itu, para imam
berkata bahwasanya hadits ini bukan tergolong hadits yang mutawatir meskipun
sudah mayshur(banyak orang yang mengetahuinya), karena syarat kemutawatiran
hadits tersebut sudah gugur di awal sanad.[9]
- Syarah Hadits
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Jumlah(susunan)
kalimat yang pertama yakni lafadz إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ menunjukkan penjelasan mengenai tentang sesuatu yang
diniati dari sebuah pekerjaan. sementara mengenai jumlah yang kedua yakni
lafadz وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى
menunjukkan penjelasan mengenai sesuatu yang terorganisir didalam pekerjaan
yang dilakukan.
Imam
nawawi menjelaskan mengenai jumlah yang kedua ini menunjukkan disyaratkannya
melakukan ta’yin(penentuan) didalam niat. Seperti contoh orang yang mengerjakan
sholat yang telah terlewat(sholat fa’itah) seperti sholat qadha’, maka tidak
cukup baginya hanya niat sholat qadha’saja
melainkan juga harus menentukan waktu dari sholat yang diqadha’i
tersebut seperti duhur dan asar. Imam Ibnu sam’an menambahkan bahwasanya amal
yang bukan tergolong ibadah ketika dikerjakan tidak akan mendapatkan pahala
apapun namun ketika diniati untuk mendekatkan diri kepada Allah maka akan
bernilai pahala.[10]
Jumhur
ulama’ berkata bahwasanya lafadz إِنَّمَا
merupakan tempat untuk penghkhususan yakni menetapkan sesuatu yang ditetapkan
dan menolak semua yang tidak disebutkan sehingga artinya menjadi sesungguhnya
amal bisa dianggap dengan adanya niat dan tidak bisa dianggap tanpa adanya
niat. Dan ini merupakan dalil terhadap hukum sesuci seperti wudlu’, mandi, dan
tayammum, maka pekerjaan yang tiga tersebut tidak bisa dinilai sah kecuali
dengan adanya niat, begitu pula mengenai sholat, zakat, puasa, haji, i’tikaf,
dan beberapa ibadah yang lainnya
Adapun
mengenai tentang menghilangkan najis maka pendapat yang masyhur dikalangan
ulama’ syafi’iyah yaitu tidak memerlukan terhadap niat, karena hal tersebut
termasuk dalam bab meninggalkan(bukan mengerjakan). Dan pekerjaan untuk
meninggalkan tidak membutuhkan terhadap niat. namun sebagian ulama’ menilai
syadz terhadap pendapat tersebut dan ini merupakan pendapat yang bathil. Niat
juga masuk didalam thalaq, Al-Itqu(memerdekakan budak), dan qodzaf.
Adapun yang dimaksud masuknya niat disini karena, apabila seseorang mentalaq
istrinya dengan menggunakan talaq kinayah namun dia berniat untuk mentalaqnya
dengan talaq shorih maka yang jatuh pada istrinya ialah talaq shorih[11]
Imam
Nawawi berkata bahwasanya niat itu merupakan kemauan hati yang kuat. Al-Karmani
juga mengikuti pendapat nawawi dan menyatakan bahwa kemauan hati yang kuat
merupakan kadar tambahan dari asal tujuan. Imam Al-Baidhowi berkata bahwasanya
niat merupakan ungkapan dari sesuatu yang terpancar dari hati karena disebabkan
oleh semisal sesuatu yang dilihatnya sesuai dengan tujuannya baik berupa
mengambil manfaat maupun menolak mudhorotnya.[12]
وَإِنَّمَا
لامرئ مَا نوى
Ulama’
berpendapat bahwa faidah dari lafadz tersebut diletakkan setelah lafadz إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ yakni untuk menjelaskan bahwasanya penta’yin-an
terhadap yang diniati merupan syarat dari niat. Jadi, apabila seseorang
melakukan sholat qodho’ maka niat tersebut tidak akan dianggap cukup tanpa menta’yin
sholatnya seperti duhur, asar ,dll. Dan apa bila kalimat yang kedua ini
tidak ada maka ke-absahan dari niat itu, tidak lagi membutuhkan ta’yin
didalamnya.[13]
Didalam
kasyful musykil dijelaskan bahwasanya apabila seseorang sholat empat rakaat dan
dia berniat “sholat ini merupakan sholat qodho’ terhadap sholat fardhu saya
yang terlewat jika memang hal tersebut(sholat faitah) terdapat padaku. Dan
apabila tidak, maka sholat ini merupakan sholat sunnah” maka niat yang demikian
tidak cukup meskipun pada akhirnya dia emang memiliki tanggungan sholat fardhu,
karena niat tersebut tidak murni untuk mengganti sholat fardhu. Begitu pula
disaat langit mendung, lalu orang tersebut berniat “apabila besok memasuki
ramadhan maka puasaku merupakan puasa fardhu, dan apabila tidak, maka puasaku
puasa sunnah” maka hal yang demikian juga tidak cukup terhadap pekerjaannya
sehingga orang tersebut memutuskan bahwasanya besok merupakan bulan ramadhan
dan dia berniat puasa ramadhan.[14]
Sementara
itu didalam kitab Nailul Awthar dijelaskan bahwasanya lafadz وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى merupakan petunjuk
disyaratkannya niat dan ikhlas didalam beramal. Imam Al-Qurthubi berkata
bahawasanya jumlah(kalimat) ini merupakan penguat dari jumlah sebelumnya. Dan
ulama’ yang lain berkata bahwasanya jumlah ini menjelaskan faidah yang
berlainan dengan faidah dari jumlah sebelumnya, karena sesungguhnya jumlah yang
pertama menjelaskan bahwasanya niat pasti mengkuti dan bersamaan dengan apa
yang dikerjakannya. Dan jumlah yang
kedua ini memberikan faedah bahwasanya orang yang berbuat sesuatu tidak akan
mendapatkan sesuatu apapun kecuali dari dengan apa yang diniatkan. Ibnu Daqiqul
Id berkata “jumlah yang kedua menunjukkan bahwa sesungguhnya seseorang yang
berniat sesuatu, maka sesuatu tersebut pulalah yang ia dapatkan. Dan setiap sesuatu
yang tidak ia niati maka tidak akan ia dapatkan.[15]
Pendapat
yang seperti diatas bisa dibenarkan karena banyaknya hadits yang mendukung
pendapat tersebut yakni hadits yang menyatakan bahwa seseorang tetap memperoleh
pahala dari apa yang diniatinya meskipun pada akhirnya dia tidak melakukannya.
Sebagaimana hadits dibawah ini.[16]
«رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا
فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِي مَالِهِ وَيُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ، وَرَجُلٌ
آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ كَانَ لِي
مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الْعَمَلِ الَّذِي يَعْمَلُ فَهُمَا فِي
الْأَجْرِ سَوَاءٌ»
“Ada seseorang datang kepada
Allah dengan membawa harta dan juga ilmu, kemudian dia beramal menggunakan
ilmunya didalam menggunakan hartanya dan menginfaqkannya dijalan yang haq, dan
ada seseorang lagi datang kepada Allah dengan membawa ilmu namun dia
tidakmemiliki harta, kemudian dia berkata: seandainya aku memiliki yang seperti
ini(harta) maka aku akan beramal dengan menggunakannya sebagaimana seseorang
yang beramal juga dengannya” maka keduanya diberi pahala yang sama”
فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ, فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ
Yang dimaksud
hijrah dalam jumlah ini yaitu meninggalkan, sementara makna dari hijrah menuju
sesuatu ialah berpindah dari sesuatu menuju sesuatu yang lain. Dan menurut
syara’ yang dimaksud dengan hijrah disini ialah meninggalkan sesuatu yang
dilarang oleh Allah. Sebagaimana contoh-contoh yang telah disebutkan
sebelumnya.[17]
Dan adapun yang
dimaksud dengan hijrah kepada Allah dan rasulnya didalam jumlah ini menunjukkan
kesatuan makna antara syarat dan kebolehan melakukan suatu hal. Namun, pemahaman
seperti ini harus dirubah karena apabila tidak maka lafadz tersebut tidak akan
lagi menunjukkan makna yang dapat dimengerti. Dalam hal ini, Imam Asy-Syaukani
menjawab bahwasanya perkiraan makna dari lafadz فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ialah niat dan
menyengaja suatu perbuatan, dan yang dimaksud dari lafadz فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِadalah
hukum dan Syara’, maka dalam hal ini kedua jumlah tersebut tidak bisa
diserupakan antara satu dan yang lainnya.[18] Adapun
Menurut Jamaluddin Abdul Farraj menjelaskan bahwasanya makna dari lafadz فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ialah diterimanya
amal tersebut oleh Allah dan Rasulnya.[19]
وَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصيبُها أَوِ امرأةٍ يتزوَّجُها فهجرتُه إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Didalam mengartikan tentang ad-dunya terdapat beberapa perbedaan
daripara ulama’ ada yang berkata bahwa Adunya adalah sesuatu yang terdapat
didalam bumi baik berupa udara maupun tanah. Ada yang menyebutnya juga sebagai
setiap makhluq(ciptaan) baik berupa sebuah material maupun inmaterial.adapun
kata Ad-Dunya apabila disebutkan secara mutlaq(tanpa batasan) maka yang
dimaksud adalah makna majaznya.[20]
Adapun penyebutan tentang lafadz imro’atun yang mana hal tersebut
masih tergolong didalam cakupan Ad-dunya didalam hadits tersebut yaitu sebagai
sindirian terhadap seseorang yang melakukan hijrah ke madinah dengan tujuan
untuk menikahi seorang wanita dari golongan muhajirin yang biasa disebut
sebagai ummu Qois ataupun sebagai bentuk peringatan karena terletaknya lafadz
yang khusus setelah terdapat lafadz yang umum pada sebelumnya. dan mengenai
makna dari فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
yakni hijrah yang dilakukannya tidak akan mendapatkan pahala.[21]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Niat
merupakan sesuatu yang urgen didalam diri manusia sehingga dengannya kita bisa
mendapatkan pahala dari sisi Allah. Hal ini lebih disebabkan karena niat
merupakan kehendak yang murni yang muncul dari dalam hati manusia terhadap
sesuatu yang dilakukan maupun akan dilakukan. Dan Allah memberikan pahala
tersendiri terhadap niat ini meskipun pada akhirnya seseorang yang berniat
tidak melakukan apa yang diniatkannya tersebut.
Hadits
yang menjelaskan niat didalam pembahasan makalah kali ini disebut-sebut sebagai
hadits yang paling utama diantara hadits-hadits yang utama dan juga ada yang
menyebutnya sepertiga dari agama. Dan alasan mengenai hal ini dikarenakan niat
merupakan sesuatu yang paling urgen diantara prilaku para hamba yang mana
terbagi menjadi tiga: hati, lisan, dan Anggota tubuh yang lainnya. Dan niat
disini mewakili pekerjaan hati sehingga hal tersebut menjadikannya yang paling
utama diantara yang lainnya.
Daftar Pustaka
Al-Bukhori, Muhammad bin Ismail, Shohih
Al-Bukhori,(Dar Touq An-Najah, 1422.H)
Asy-Syadzili ,Muhammad Abdul Aziz
bin Ali, Al-Adab An-Nabawi,(Beirut: Dar Al-Ma’rifah,1423.H)
As-Suyuthi, Jalaluddin, Hasyiyah
As-Sindi fi Syarhi Sunan An-Nasa’i,(Maktab Al-Matbu’at Al-Islamiyah, 1986)
As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lam’u
Fi Asbab Wurud Al-Hadits,(Maktab Al-Buhuts wa Al-Dirasah,1996)
Al-Hasani, Muhammad bin Isma’il, At-Tanwir
Syarh Jami’ Ash-Shaghir,(Riyad: Maktab Dar Al-Islam, 2011)
An-Nawawi, Abu zakariya muhyiddin, Al-manhaj
Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj,(Beirut : Dar Ihya’ Turats Al-Arabiy, 1392H)
Al-Jauzi, Jamaluddin Abdul Farraj, Kasyf Al-Musykil Fi Al-Hadits
Ash-Shohihain,(Riyadl:Dar Al-Wathan)
Asyraf, Muhammad, Aunul ma’bud Fi
Syarhi Sunan Abi Dawud,(Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah,1415H)
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali, Nail Al-Awthar,(Mesir:Dar
Al-Hadits, 1993)
[1]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori,(Dar Touq An-Najah,
1422.H) Juz.8 Hal.140
[2]
Muhammad Abdul Aziz bin Ali Asy-Syadzili, Al-Adab An-Nabawi,(Beirut: Dar
Al-Ma’rifah,1423.H) Hal.9
[3]
Ibid
[4]
Jalaluddin As-Suyuthi, Hasyiyah As-Sindi fi Syarhi Sunan An-Nasa’i,(Maktab
Al-Matbu’at Al-Islamiyah, 1986) Juz.1 Hal.58-59
[5]
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lam’u Fi Asbab Wurud Al-Hadits,(Maktab
Al-Buhuts wa Al-Dirasah,1996) Hal.31
[6]
Referensinya ibad
[7] Ibnu mahdi, Asy-Syafi’i, Ibnu Madini, Ahmad, Abu daud, dan
Ad-Daraqutni
[8] Muhammad
bin Isma’il Al-Hasani, At-Tanwir Syarh Jami’ Ash-Shaghir,(Riyad: Maktab
Dar Al-Islam, 2011) Juz.1 Hal.178
[9] Abu
zakariya muhyiddin An-Nawawi, Al-manhaj Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj,(Beirut
: Dar Ihya’ Turats Al-Arabiy, 1392H) Juz.13 Hal.54
[10]
Jalaluddin As-Suyuthi, Hasyiyah As-Sindi fi Syarhi Sunan An-Nasa’i,(Maktab
Al-Matbu’at Al-Islamiyah, 1986) Juz.1 Hal.58-59
[11] Abu
zakariya muhyiddin An-Nawawi, Al-manhaj Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj,(Beirut
: Dar Ihya’ Turats Al-Arabiy, 1392H) Juz.13 Hal.54
[12]
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Awthar,(Mesir:Dar Al-Hadits,
1993) Juz.1 Hal.169
[13] Abu
zakariya muhyiddin An-Nawawi, Al-manhaj Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj,(Beirut
: Dar Ihya’ Turats Al-Arabiy, 1392H) Juz.13 Hal.54
[14]
Jamaluddin Abdul Farraj Al-Jauzi, Kasyf Al-Musykil Fi Al-Hadits Ash-Shohihain,(Riyadl:Dar
Al-Wathan) Juz.1 Hal.87
[15]
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Awthar,(Mesir:Dar Al-Hadits,
1993) Juz.1 Hal.169
[16]
Ibid
[17]
Ibid, Hal.170
[18]
Ibid
[19] Jamaluddin
Abdul Farraj Al-Jauzi, Kasyf Al-Musykil Fi Al-Hadits Ash-Shohihain,(Riyadl:Dar
Al-Wathan) Juz.1 Hal.87
[20] Muhammad
bin Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Awthar,(Mesir:Dar Al-Hadits, 1993) Juz.1
Hal.170
[21]Muhammad
Asyraf, Aunul ma’bud Fi Syarhi Sunan Abi Dawud,(Beirut: Dar Al-Kutub
Al-ilmiyah,1415H) Juz.6 Hal.204
0 Komentar untuk "MAKALAH Innamal A'malu Binniyat (Syarah Hadits)"