MAKALAH Innamal A'malu Binniyat (Syarah Hadits)

Posted by at 0 komentar

MAKALAH
انما الاعمال بالنيات
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Tahlili Yang dibimbing oleh Dosen Moh. Barmawi, S.Th.I., M.Hum,
 
Disusun Oleh:
Muhammad Sadid Nidlom F              (U20163030)
Muhammad Qowiyyul Ibad               (U20163029)
Muhammad Zainu Muttaqi                 (U20163032)


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
PRODI ILMU HADITS
IAIN JEMBER
2018



KATA PENGANTAR
            Segala puji bagi Allah, yang dengan-Nya kita memohon pertolongan dan meminta perlindungan dari segala kejahatan dan juga keburukan amal perbuatan . Sholawat dan salam semoga terlimpah-curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Yang mana dengan perantara wasilah kepadanya penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Hadits Tahlili. Pada kesempatan ini kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Moh. Barmawi, S.Th.I., M.Hum, selaku pembimbing dan pengarahan, sehingga makalah ini dapat selesai dengan baik serta teman-teman yang juga turut membantu dan memberi apresiasi terhadap makalah yang demikian sederhanaini, sehingga kami bisa bekerja sama mengerjakan tugas kelompok kami yang berjudul  انما الاعمال بالنيات
Dengan demikian telah tergambar jelas bahwa judul yang kami bawakan ini merupakan gambaran bentuk permasalahan didalam memahami hadits yang sering kita jumpai ini. Oleh sebab itu dalam makalah ini kami akan menjelaskan berbagai materi yang menarik dan bisa menjadi bahan untuk disimak bersama. Penulis memohon kritik serta saran untuk lebih bisa menyempurnakan makalah ini karena kekurangan dari pemahaman kami mengenai apa yang ada didalamnya, baik dari segi kemantapan materi maupun penerjemahan dari berbagai referensi, selanjutnya penulis berharap makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat sebagai bahan renungan maupun bahan rujukan terutama bagi yang membutuhkan. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.




Jember, 17 Februari 2018

            Penyusun




DAFTAR ISI
Halaman Sampul..................................................................................................................       i
Kata Pengantar....................................................................................................................      ii
Daftar Isi.............................................................................................................................     iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................      1
1.1. Latar belakang.....................................................................................................      1
1.2.Rumusan masalah.................................................................................................      1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................      2
A.       Hadits النما الاعمال بالنيات dan terjemahannya...........................................................      2
B.       Bahtsu Al-Lughowiyyah ......................................................................................      2
C.       Asbab Al-Wurud...................................................................................................      4
D.       Kedudukan Hadits................................................................................................      4
E.        Syarah Hadits........................................................................................................      5
BAB III PENUTUP............................................................................................................    10
3.1. Kesimpulan.........................................................................................................    10
Daftar Pustaka.....................................................................................................................   11









                                           

 BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Niat adalah menyengaja untuk melakukan sesuatu yang mana hal tersebut bersamaan dengan awal dari sebuah perbuatan. Begitulah definisi niat yang sering kita dengar didalam materi kajian fiqh. Mungkin definisi yang seperti ini hanya masyhur pada kalangan pesantren saja, terutama bagi mereka yang sangat tekun mendalami ilmu fiqh. Namun, hadits mengenai tentang niat ini cukup banyak diketahui oleh khalayak, bukannya Cuma orang pesantren saja, melainkan orang awampun sudah akrab dengan hadits yang berbunyi انما الاعمال بالنياتini.
Banyaknya perspektif orang mengenai makna yang dikandung oleh hadits ini membuat kami tertarik untuk mengupasnya lebih dalam lagi, bukan dengan ranah fiqh tetapi melaui ranah yang lebih melebar lagi, yakni interpretasi dari para ulama’ mengenai hadits yang telah masyhur ini. Hal ini kami lakukan demi untuk mengetahui apakah niat yang disebut didalm hadits tersebut hanya dapat diartikan sebagaimana yang ada didalam materi fiqh atau malah bisa lebih luaslagi. Apakah dari sisi kontekstual hadits ini dapat berpotensi juga didalam interpretasi lanjutan dari apa yang sudah dilakukan oleh ulama’ terdahulu. Oleh karena itu kami menyajikan berbagai rumusan masalah yang akan kita kupas secara lebih mendalam lagi mengenai hal ini yang mana hal tersebut sebagai berikut.



Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah Bahtsu Al-Lughowiyyah didalam hadits انما الاعمال بالنيات
  2. Bagaimanakah Asbab Al-Wurud dari hadits  انما الاعمال بالنيات
  3. Bagaimanakah Kedudukan Hadits انما الاعمال بالنيات
  4. Bagaimanakah Syarah dari Hadits انما الاعمال بالنيات



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Al-Hadits
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَهَّابِ، قَالَ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ، يَقُولُ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ  سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
Diceritakan dari Qutaibah bin Sa’id, diceritakan dari Abdul Wahhab dia berkata: aku mendengar Yahya bin Sa’id berkata: Muhammad bin Ibrahim telah memberi khabar kepadaku bahwasanya dia mendengar Alqomah bin Waqqos Al-Laitsi berkata: aku mendengar Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan bagi seseorang yaitu apa yang diniatkannya. Maka barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.[1]

  1. Bahtsu Al-Lughowiyah
Lafadz الاعمال mencakup terhadap setiap pekerjaan yang dilakukan oleh lisan dan anggota tubuh yang lainnya,
Adapun lafadz النيات dengan menggunakan lafadz jama’ menunjukkan arti yang lebih luas daripada sekedar menyengaja saja, melainkan berupa dorongan hati yang diakibatkan oleh selarasnya sesuatu yang terlihat dengan tujuan yang ada, baik berupa menarik manfaat maupun menolak mudhorot darinya.  النية sendiri memiliki arti kehendak yang ter-arah, seperti mengerjakan sesuatu untuk mengharapkan ridlo Allah dan tunduk terhadap hukumNya. Dan lafadz إنما didalam hadits tersebut berfaidah untuk mengokohkan dan membatasi pekerjaan dengan niat, baik untuk menghasilkan tujuan agama maupun tujuan duniawi. [2]
Adapun lafadz الهجرة memiliki arti meninggalkan suatu tempat menuju tempat lainnya yang menjadi tujuannya, hijrah ialah memisahkan diri dari yang lainnya dengan menggunakan badan, lisan, ataupun hatinya. Adapun penggunaan hijrah yang ditunjukkan oleh syari’ memiliki arti meninggalkan tempat yang tidak aman menuju tempat yang aman sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sahabat ketika meninggalkan mekkah menuju negeri habasyah, meninggalkan negara kafir menuju negara islam sebagaimana berhijrahnya shahabat dari mekkah menuju madinah yang kemudian disusul oleh Rasulallah, dan juga meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah.
Adapun lafadz الدنيا merupakan bentuk muannats dari lafadz الأدنى yang diambil dari lafadz الدنو dan inilah yang lebih dekat dengan benar. Ketika lafadz الدنيا disebut secara mutlak(tidak dibatasi) maka memiliki arti kehidupan yang utama bagi manusia dan bagi para makhluq.[3]
Menurut As-Suyuthi didalam menysarahi hadits tersebut menyebutkan bahwasanya didalam lafadz   إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِpasti terdapat lafdz yang dibuang, yang mana lafadz tersebut merupakan muta’allaq(tempat kembali) dari huruf jer بِ yang terdapat didalam hadits diatas, karena seyogyanya bagi huruf jer pasti memiliki muta’allaqnya masing-masing terkecuali huruf jer yang zaidah.
Adapun perkiraan lafadz yang dibuang tersebut terdapat beberapa fariasi perkiaraan dari beberapa pendapat yang ada. Ada yang memperkiran bahwa lafadz yang dibuang ialah تُعْتَبَرُ , ada juga yang memperkirakan dibuangnya lafadz تَصِحُّ , dan ada pula yang memperkirakan lafadz تَكْمُلُ . dan hal-hal mengenai pembuangan ini akan berakibat terhadap sebuah hukum yang akan ditimbulkan dari hadits tersebut.[4]



  1. Asbab Al-Wurud
Zubair bin bakar didalam kitabnya yang berjudul Akhbar Al-Madinah berkata “muhammad bin hasan Al-Harits menceritakan kepadaku dari ayahnya, dia berkata “ ketika rasulallah sampai di madinah, para shahabat sedang dilanda penyakit tidak enak badan, kemudian majulah seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan dari golongan muhajirin, lalu Rasulallah duduk diatas mimbar kemudian beliau bersabda “wahai para manusia,sesungguhnya setiap segala sesuatu itu tergantung dari niatnya” sebanyak tiga kali “Maka barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya itu Karena mencari dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” kemudian Rasulallah mengangkat kedua tangannya seraya berkata “ Ya Allah, pindahkanlah penyakit/wabah dari kami”[5]
Imam Tabhrani meriwayatkan dalam Mu’jam al-Kabir dengan sanad yang kuat, diriwayatkan dari ibu mas’ud ia berkata: “ada seseorang diantara kami yang melamar seorang wanita bernama Ummu Qais, namun ia menolak untuk menikah dengannya, kecuali jika laki-laki tersebut mau berhijrah. Akhirnya, ia pun ia berhijrah lalu menikahinya, karnanya, kami menamainya Muhajir Ummi Qois (Orang yang berhijrah karna Ummu Qois).”[6]

  1. Kedudukan Hadits
Hadits tentang niat diatas merupakan salah satu dari tiga hadits yang paling utama. Abu Abdullah berkata: tak ada satu haditspun didalam hadits-hadits nabi yang lebih banyak faedahnya kecuali hadits ini. Ibnu mahdi dan yang lainnya[7] bersepakat bahwa hadits ini merupakan sepertiga dari islam karena sesungguhnya prilaku para hamba itu tercakup menjadi tiga bagian, yakni : hati, lisan, dan anggota tubuh lainnya, dan niat adalah salah satu dari ketiga hal tersebut dan merupakan yang paling terpenting diantara ketiganya. Adapun hadits lainnya yang tergolong tiga hadits yang paling utama yaitu hadits yang berbunyi من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردٌّ  dan juga hadits yang berbunyi الحلال بيّن والحرام بين .[8]
Para penghafal hadits berkata bahwasanya hadits ini tidak sah dari nabi kecuali dari riwayat umar bin khattab, dan tidak sah pula dari umar bin khattab kecuali dari riwayat A’lqamah bin Waqqas, dan tidak sah pula dari ‘Alqamah bin Waqqas kecuali dari riwayat muhammad bin ibrahim At-Taimiy, dan tidak sah pula dari Muhammad bin Ibrahim kecuali dari riwayat Yahya bin Sa’id Al-Anshori, dan dari Yahya Al-Anshori tersebarlah hadits tersebut hingga lebih dari dua ratus orang dan kebanyakan dari mereka merupakan seorang imam. Oleh karena itu, para imam berkata bahwasanya hadits ini bukan tergolong hadits yang mutawatir meskipun sudah mayshur(banyak orang yang mengetahuinya), karena syarat kemutawatiran hadits tersebut sudah gugur di awal sanad.[9]

  1. Syarah Hadits
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Jumlah(susunan) kalimat yang pertama yakni lafadz إِنَّمَا الْأَعْمَالُ menunjukkan penjelasan mengenai tentang sesuatu yang diniati dari sebuah pekerjaan. sementara mengenai jumlah yang kedua yakni lafadz وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى menunjukkan penjelasan mengenai sesuatu yang terorganisir didalam pekerjaan yang dilakukan.
Imam nawawi menjelaskan mengenai jumlah yang kedua ini menunjukkan disyaratkannya melakukan ta’yin(penentuan) didalam niat. Seperti contoh orang yang mengerjakan sholat yang telah terlewat(sholat fa’itah) seperti sholat qadha’, maka tidak cukup baginya hanya niat sholat qadha’saja  melainkan juga harus menentukan waktu dari sholat yang diqadha’i tersebut seperti duhur dan asar. Imam Ibnu sam’an menambahkan bahwasanya amal yang bukan tergolong ibadah ketika dikerjakan tidak akan mendapatkan pahala apapun namun ketika diniati untuk mendekatkan diri kepada Allah maka akan bernilai pahala.[10]
Jumhur ulama’ berkata bahwasanya lafadz إِنَّمَا merupakan tempat untuk penghkhususan yakni menetapkan sesuatu yang ditetapkan dan menolak semua yang tidak disebutkan sehingga artinya menjadi sesungguhnya amal bisa dianggap dengan adanya niat dan tidak bisa dianggap tanpa adanya niat. Dan ini merupakan dalil terhadap hukum sesuci seperti wudlu’, mandi, dan tayammum, maka pekerjaan yang tiga tersebut tidak bisa dinilai sah kecuali dengan adanya niat, begitu pula mengenai sholat, zakat, puasa, haji, i’tikaf, dan beberapa ibadah yang lainnya
Adapun mengenai tentang menghilangkan najis maka pendapat yang masyhur dikalangan ulama’ syafi’iyah yaitu tidak memerlukan terhadap niat, karena hal tersebut termasuk dalam bab meninggalkan(bukan mengerjakan). Dan pekerjaan untuk meninggalkan tidak membutuhkan terhadap niat. namun sebagian ulama’ menilai syadz terhadap pendapat tersebut dan ini merupakan pendapat yang bathil. Niat juga masuk didalam thalaq, Al-Itqu(memerdekakan budak), dan qodzaf. Adapun yang dimaksud masuknya niat disini karena, apabila seseorang mentalaq istrinya dengan menggunakan talaq kinayah namun dia berniat untuk mentalaqnya dengan talaq shorih maka yang jatuh pada istrinya ialah talaq shorih[11]
Imam Nawawi berkata bahwasanya niat itu merupakan kemauan hati yang kuat. Al-Karmani juga mengikuti pendapat nawawi dan menyatakan bahwa kemauan hati yang kuat merupakan kadar tambahan dari asal tujuan. Imam Al-Baidhowi berkata bahwasanya niat merupakan ungkapan dari sesuatu yang terpancar dari hati karena disebabkan oleh semisal sesuatu yang dilihatnya sesuai dengan tujuannya baik berupa mengambil manfaat maupun menolak mudhorotnya.[12]

وَإِنَّمَا لامرئ مَا نوى
Ulama’ berpendapat bahwa faidah dari lafadz tersebut diletakkan setelah lafadz  إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ yakni untuk menjelaskan bahwasanya penta’yin-an terhadap yang diniati merupan syarat dari niat. Jadi, apabila seseorang melakukan sholat qodho’ maka niat tersebut tidak akan dianggap cukup tanpa menta’yin sholatnya seperti duhur, asar ,dll. Dan apa bila kalimat yang kedua ini tidak ada maka ke-absahan dari niat itu, tidak lagi membutuhkan ta’yin didalamnya.[13]
Didalam kasyful musykil dijelaskan bahwasanya apabila seseorang sholat empat rakaat dan dia berniat “sholat ini merupakan sholat qodho’ terhadap sholat fardhu saya yang terlewat jika memang hal tersebut(sholat faitah) terdapat padaku. Dan apabila tidak, maka sholat ini merupakan sholat sunnah” maka niat yang demikian tidak cukup meskipun pada akhirnya dia emang memiliki tanggungan sholat fardhu, karena niat tersebut tidak murni untuk mengganti sholat fardhu. Begitu pula disaat langit mendung, lalu orang tersebut berniat “apabila besok memasuki ramadhan maka puasaku merupakan puasa fardhu, dan apabila tidak, maka puasaku puasa sunnah” maka hal yang demikian juga tidak cukup terhadap pekerjaannya sehingga orang tersebut memutuskan bahwasanya besok merupakan bulan ramadhan dan dia berniat puasa ramadhan.[14]
Sementara itu didalam kitab Nailul Awthar dijelaskan bahwasanya lafadz وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى merupakan petunjuk disyaratkannya niat dan ikhlas didalam beramal. Imam Al-Qurthubi berkata bahawasanya jumlah(kalimat) ini merupakan penguat dari jumlah sebelumnya. Dan ulama’ yang lain berkata bahwasanya jumlah ini menjelaskan faidah yang berlainan dengan faidah dari jumlah sebelumnya, karena sesungguhnya jumlah yang pertama menjelaskan bahwasanya niat pasti mengkuti dan bersamaan dengan apa yang dikerjakannya.  Dan jumlah yang kedua ini memberikan faedah bahwasanya orang yang berbuat sesuatu tidak akan mendapatkan sesuatu apapun kecuali dari dengan apa yang diniatkan. Ibnu Daqiqul Id berkata “jumlah yang kedua menunjukkan bahwa sesungguhnya seseorang yang berniat sesuatu, maka sesuatu tersebut pulalah yang ia dapatkan. Dan setiap sesuatu yang tidak ia niati maka tidak akan ia dapatkan.[15]
Pendapat yang seperti diatas bisa dibenarkan karena banyaknya hadits yang mendukung pendapat tersebut yakni hadits yang menyatakan bahwa seseorang tetap memperoleh pahala dari apa yang diniatinya meskipun pada akhirnya dia tidak melakukannya. Sebagaimana hadits dibawah ini.[16]
«رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِي مَالِهِ وَيُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الْعَمَلِ الَّذِي يَعْمَلُ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ»
            “Ada seseorang datang kepada Allah dengan membawa harta dan juga ilmu, kemudian dia beramal menggunakan ilmunya didalam menggunakan hartanya dan menginfaqkannya dijalan yang haq, dan ada seseorang lagi datang kepada Allah dengan membawa ilmu namun dia tidakmemiliki harta, kemudian dia berkata: seandainya aku memiliki yang seperti ini(harta) maka aku akan beramal dengan menggunakannya sebagaimana seseorang yang beramal juga dengannya” maka keduanya diberi pahala yang sama”        

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ, فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Yang dimaksud hijrah dalam jumlah ini yaitu meninggalkan, sementara makna dari hijrah menuju sesuatu ialah berpindah dari sesuatu menuju sesuatu yang lain. Dan menurut syara’ yang dimaksud dengan hijrah disini ialah meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah. Sebagaimana contoh-contoh yang telah disebutkan sebelumnya.[17]
Dan adapun yang dimaksud dengan hijrah kepada Allah dan rasulnya didalam jumlah ini menunjukkan kesatuan makna antara syarat dan kebolehan melakukan suatu hal. Namun, pemahaman seperti ini harus dirubah karena apabila tidak maka lafadz tersebut tidak akan lagi menunjukkan makna yang dapat dimengerti. Dalam hal ini, Imam Asy-Syaukani menjawab bahwasanya perkiraan makna dari lafadz فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ialah niat dan menyengaja suatu perbuatan, dan yang dimaksud dari lafadz  فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِadalah hukum dan Syara’, maka dalam hal ini kedua jumlah tersebut tidak bisa diserupakan antara satu dan yang lainnya.[18] Adapun Menurut Jamaluddin Abdul Farraj menjelaskan bahwasanya makna dari lafadz فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ialah diterimanya amal tersebut oleh Allah dan Rasulnya.[19]

وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصيبُها أَوِ امرأةٍ يتزوَّجُها فهجرتُه إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Didalam mengartikan tentang ad-dunya terdapat beberapa perbedaan daripara ulama’ ada yang berkata bahwa Adunya adalah sesuatu yang terdapat didalam bumi baik berupa udara maupun tanah. Ada yang menyebutnya juga sebagai setiap makhluq(ciptaan) baik berupa sebuah material maupun inmaterial.adapun kata Ad-Dunya apabila disebutkan secara mutlaq(tanpa batasan) maka yang dimaksud adalah makna majaznya.[20]
Adapun penyebutan tentang lafadz imro’atun yang mana hal tersebut masih tergolong didalam cakupan Ad-dunya didalam hadits tersebut yaitu sebagai sindirian terhadap seseorang yang melakukan hijrah ke madinah dengan tujuan untuk menikahi seorang wanita dari golongan muhajirin yang biasa disebut sebagai ummu Qois ataupun sebagai bentuk peringatan karena terletaknya lafadz yang khusus setelah terdapat lafadz yang umum pada sebelumnya. dan mengenai makna dari فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ yakni hijrah yang dilakukannya tidak akan mendapatkan pahala.[21]












BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
             Niat merupakan sesuatu yang urgen didalam diri manusia sehingga dengannya kita bisa mendapatkan pahala dari sisi Allah. Hal ini lebih disebabkan karena niat merupakan kehendak yang murni yang muncul dari dalam hati manusia terhadap sesuatu yang dilakukan maupun akan dilakukan. Dan Allah memberikan pahala tersendiri terhadap niat ini meskipun pada akhirnya seseorang yang berniat tidak melakukan apa yang diniatkannya tersebut.
Hadits yang menjelaskan niat didalam pembahasan makalah kali ini disebut-sebut sebagai hadits yang paling utama diantara hadits-hadits yang utama dan juga ada yang menyebutnya sepertiga dari agama. Dan alasan mengenai hal ini dikarenakan niat merupakan sesuatu yang paling urgen diantara prilaku para hamba yang mana terbagi menjadi tiga: hati, lisan, dan Anggota tubuh yang lainnya. Dan niat disini mewakili pekerjaan hati sehingga hal tersebut menjadikannya yang paling utama diantara yang lainnya.
















Daftar Pustaka
Al-Bukhori, Muhammad bin Ismail, Shohih Al-Bukhori,(Dar Touq An-Najah, 1422.H)
Asy-Syadzili ,Muhammad Abdul Aziz bin Ali, Al-Adab An-Nabawi,(Beirut: Dar Al-Ma’rifah,1423.H)
As-Suyuthi, Jalaluddin, Hasyiyah As-Sindi fi Syarhi Sunan An-Nasa’i,(Maktab Al-Matbu’at Al-Islamiyah, 1986)
As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lam’u Fi Asbab Wurud Al-Hadits,(Maktab Al-Buhuts wa Al-Dirasah,1996)
Al-Hasani, Muhammad bin Isma’il, At-Tanwir Syarh Jami’ Ash-Shaghir,(Riyad: Maktab Dar Al-Islam, 2011)
An-Nawawi, Abu zakariya muhyiddin, Al-manhaj Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj,(Beirut : Dar Ihya’ Turats Al-Arabiy, 1392H)
Al-Jauzi, Jamaluddin Abdul Farraj, Kasyf Al-Musykil Fi Al-Hadits Ash-Shohihain,(Riyadl:Dar Al-Wathan)
Asyraf, Muhammad, Aunul ma’bud Fi Syarhi Sunan Abi Dawud,(Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah,1415H)
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali, Nail Al-Awthar,(Mesir:Dar Al-Hadits, 1993)





[1] Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori,(Dar Touq An-Najah, 1422.H) Juz.8 Hal.140
[2] Muhammad Abdul Aziz bin Ali Asy-Syadzili, Al-Adab An-Nabawi,(Beirut: Dar Al-Ma’rifah,1423.H) Hal.9
[3] Ibid
[4] Jalaluddin As-Suyuthi, Hasyiyah As-Sindi fi Syarhi Sunan An-Nasa’i,(Maktab Al-Matbu’at Al-Islamiyah, 1986)  Juz.1 Hal.58-59
[5] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lam’u Fi Asbab Wurud Al-Hadits,(Maktab Al-Buhuts wa Al-Dirasah,1996) Hal.31
[6] Referensinya ibad
[7] Ibnu mahdi, Asy-Syafi’i, Ibnu Madini, Ahmad, Abu daud, dan Ad-Daraqutni
[8] Muhammad bin Isma’il Al-Hasani, At-Tanwir Syarh Jami’ Ash-Shaghir,(Riyad: Maktab Dar Al-Islam, 2011) Juz.1 Hal.178
[9] Abu zakariya muhyiddin An-Nawawi, Al-manhaj Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj,(Beirut : Dar Ihya’ Turats Al-Arabiy, 1392H) Juz.13 Hal.54
[10] Jalaluddin As-Suyuthi, Hasyiyah As-Sindi fi Syarhi Sunan An-Nasa’i,(Maktab Al-Matbu’at Al-Islamiyah, 1986)  Juz.1 Hal.58-59
[11] Abu zakariya muhyiddin An-Nawawi, Al-manhaj Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj,(Beirut : Dar Ihya’ Turats Al-Arabiy, 1392H) Juz.13 Hal.54
[12] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Awthar,(Mesir:Dar Al-Hadits, 1993) Juz.1 Hal.169
[13] Abu zakariya muhyiddin An-Nawawi, Al-manhaj Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj,(Beirut : Dar Ihya’ Turats Al-Arabiy, 1392H) Juz.13 Hal.54
[14] Jamaluddin Abdul Farraj Al-Jauzi, Kasyf Al-Musykil Fi Al-Hadits Ash-Shohihain,(Riyadl:Dar Al-Wathan) Juz.1 Hal.87
[15] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Awthar,(Mesir:Dar Al-Hadits, 1993) Juz.1 Hal.169
[16] Ibid
[17] Ibid, Hal.170
[18] Ibid
[19] Jamaluddin Abdul Farraj Al-Jauzi, Kasyf Al-Musykil Fi Al-Hadits Ash-Shohihain,(Riyadl:Dar Al-Wathan) Juz.1 Hal.87
[20] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Awthar,(Mesir:Dar Al-Hadits, 1993) Juz.1 Hal.170
[21]Muhammad Asyraf, Aunul ma’bud Fi Syarhi Sunan Abi Dawud,(Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah,1415H) Juz.6 Hal.204


tags :

0 Komentar untuk "MAKALAH Innamal A'malu Binniyat (Syarah Hadits)"

Back to Top