MAKALAH TAFSIR Kewajiban Berdakwah

Posted by at 0 komentar

MAKALAH
Kewajiban Berdakwah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir II yang di bimbing oleh
Dosen pengampu : Ah. Syukron Latif, Lc, M.A

 

Di Susun Oleh :

                                                MUSFIK ALAMSYAH                    U20162006
                                                ACH. DIMYATI MUSTOFA                       U2016202
                                                MUJIBUR ROHMAN                       U20162008



FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
PRODI ILMU HADIST
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
TAHUN 2017-2018


DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
                       
BAB I ........................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
Latar Belakang........................................................................................................... 1
Rumusan Masalah....................................................................................................... 1
Tujuan......................................................................................................................... 1
BAB II....................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN........................................................................................................ 2
Pengertian Dakwah.................................................................................................... 2
Kewajiban Dakwah QS. Al – Maidah 67................................................................... 3
Kewajiban Dakwah QS. Ali Imron 104..................................................................... 6
BAB III...................................................................................................................... 9
PENUTUP.................................................................................................................. 9
Kesimpulan................................................................................................................. 9
Daftar isi..................................................................................................................... 9



                                   
                 
           

           BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an ialah salah satu sumber hukum dan dalil hukum, dan sebagai petunjuk atau sebagai sumber dari ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah supaya manusia menjadi makhluk yang mengenal Allah dan mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah. Tafsir Al-Qur’an adalah penjelas tentang maksud firman Allah sesuai kemampuan manusia. Kemampuan itu bertingkat-tingkat, sehingga yang dicerna atau yang diperoleh seorang penafsir dari Al-Qur’an bertingkat-tingkat pula.
Di dalam Al-Qur’an mengandung nilai-nilai pendidikan, muamalah, hukum bahkan dakwah. Nilai nilai dakwah ini yang kita akan telaah bersama, Berkaitan dengan kewajiban umat islam untuk berdakwah yang secara kongkrit telah terkodifikasi di dalam al – qur’an. Sehingga hal ini berkolerasi dan materi yang ditawarkan pada mata kuliah tafsir dakwah yang tercakup pada Qs. Al-Maidah 67 dan Qs Ali imron 104.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dakwah ?
2.      Bagaimana Kewajiban berdakwah pada surat Al Maidah Qs Al-Maidah 67 ?
3.      Bagaimana Kewajiban berdakwah pada surat Al Maidah Qs Ali Imron 104 ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Pengertian dari dakwah itu sendiri
2.      Untuk mengetahui Kewajiban berdakwah pada surat Al Maidah Qs Al-Maidah 67.
3.      Untuk mengetahui Kewajiban berdakwah pada surat Al Maidah Qs Ali Imron 104.




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Dakwah
Di tinjau dari segi etimologi dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti “panggilan, ajakan atau seruan”. Dalam ilmu tata bahasa Arab, kata Dakwah berbentuk sebagai “isim mashdar”. Kata ini berasal dari fi’il “da’a-yad’u”, artinya memanggil, mengajak atau menyeru. Orang yang memanggil, mengajak atau menyeru atau melaksanakan dakwah dinamakan da’inya, terdiri dari beberapa orang (banyak) di sebut “du’ah”.
Dakwah menurut arti istilahnya mengandung beberapa arti yang beraneka ragam. Banyak ahli ilmu dakwah dalam memberikan pengertian terhadap istilah dakwah terdapat beraneka ragam pendapat. Menurut Drs. Hamzah Yaqub dalam bukunya “Publistik Islam” memberikan pengertian dakwah dalam islam ialah “mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul”.[1]
Asmuni syukir berpendapat bahwa istilah dakwah itu dapat di artikan dari dua sudut pandang, yakni pengertian dakwah yang bersifat pembinaan dan bersifat pengembangan. Pembinaan artinya suatu kegiatan untuk mempertahankan dan menyempurnakan sesuatu hal yang telah ada sebelumnya. Sedangkan pengembangan berarti suatu kegiatan yang mengarah kepada pembaharuan. Dengan demikian pengertian Dakwah yang bersifat pembinaan adalah suatu usaha mempertahankan, melestariakan dan menyempurnakan umat manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah, dengan menjalankan syariat nya sehingga mereka menjadi manusia yang hidup bahagia di dunia maupun akherat. Sedangkan pengertian dakwah yang bersifat pengembangan adalah usaha mengajak umat manusia yang belum beriman kepada Allah agar mentaati syariat islam supaya na’ntinya dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun akherat.[2]
2.      Kewajiban Berdakwah
Pada dasarnya setiap muslim dan muslimah di wajibkan untuk mendakwahkan islam kepada orang lain baik muslim maupun non muslim Misalnya amar ma’ruf, nahi munkar, memberi nasihat dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum islam tidak mewajibkan bagi umatnya untuk selalu mendapatkan hasil semaksimalnya, akan tetapi usahanyalah yang diwajibkan semaksimalnya sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Adapun orang yang diajak, ikut ataupun tidak ikut itu urusan Allah. ketentuan semacam ini di dasarkan pada firman Allah Swt :
A.    Surat Al – Maidah 67
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.(QS Al-Maidah 67).[3]
1.      Asbabun Nuzul
Pada awalnya Nabi merasa takut untuk menyampaikan risalah kenabian. Namun karena ada dukungan langsung dari Alloh maka keberanian itu muncul. Dukungan dari Alloh sebagai pihak pemberi wewenang menimbulkan semangat dan etos dakwah nabi dalam menyampaikan risalah. Nabi tidak sendirian, dibelakangnya ada semangat “Agung”, ada pemberi motivasi yang sempurna yaitu Alloh SWT. Begitu pun dalam proses pembelajaran harus ada keberanian, tidak ragu-ragu dalam menyampaikan materi. Sebab penyampaian materi sebagai pewarisan nilai merupakan amanat agung yang harus diberikan. Bukankah nabi berpesan ; “yang hadir hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir” . Sehingga Allah berfirman sebagai penegasan dukungan keselamatan :
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ = Alloh memelihara kamu dari (gangguan) manusia
Imam AL-Qurtubi memperjelas dalam konteks kerisalahan nabi sebagai rasul. Beliau mengungkapkan sebab rasul tidak berani menyampaikan risalah kenabian secara terang-terangan. Beliau menulis dalam tafsirnya :
قيل: معناه أظهر التبليغ; لأنه كان في أول الإسلام يخفيه خوفا من المشركين, ثم أمر بإظهاره في هذه الآية, وأعلمه الله أنه يعصمه من الناس
Arti “baligh” menurut Imam Al-Qurtubi lebih menampakan pada proses penyampaian amanah kapada masyarakat. Karena di awal penyebaran agama Islam nabi khawatir kepada orang-orang musyrik Makkah. Kemudian Alloh memerintahkan untuk menampakan kerisalahan tersebut dengan diturunkannya ayat ini. Dan Alloh memberitahu kepada nabi bahwa Alloh akan menjaga keselamatannya. Bahkan bila nabi tidak menyampaikan ayat, menyembunyikan risalah dan amanat tersebut maka nabi dikatakan sebagai orang yang “kadzab”, berdusta.
Kata “Baligh” dalam bahasa Arab atinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qawl (ucapan), kata balig berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebgai prinsip komunikasi yang effektif. Komunikasi yang efektif dan efisien dapat diperoleh bila memperhatikan pertama, bila dalam pembelajaran menyesuaikan pembicaranya dengan sifat khalayak. Istilah Al-Quran “fii anfusihiim”, artinya penyampaian dengan “bahasa” masyarakat setempat. Hal yang kedua agar komunikasi dalam proses pembelajaran dapat diterima peserta didik manakala komunikator menyentuh otak atau akal juga hatinya sekaligus. Tidak jarang di sela khotbahnya nabi berhenti untuk bertanya atau memberi kesempatan yang hadir untuk bertanya, terjadilah dialog. Khutbah nabi pendek tetapi padat penuh makna sehingga menyentuh dalam setiap sanubari pendengarnya.
Menurut beberapa hadis yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi SAW, seperti Ibnu Abbas, Abu Said Al-Khudri, Al-Barra’ bin Azib, Abu Hurairah, dan lainnya, ayat ini turun setelah haji Wada’ di Ghadir Khum sehubungan dengan perintah memproklarnirkan kepemimpinan (wilayah) Ali bin Abi Thalib a.s.
2.      Tafsir Ayat
Menurut penjelasan dari Ibnu Katsir, Allah SWT berfirman sambil mengkhitabi hamba dan rasulnya Muhammad SAW dengan ungkapan “Rasul” dan menyuruhnya supaya menyampaikan seluruh perkara yang dibawanya dari Allah SWT. Dan Nabi Muhammad SAW telah melaksanakan perintah itu dan menjalankan risalah dengan sempurna. Sehubungan dengan penafsiran ayat ini, Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah, “ Barangsiapa yang menceritakan kepadamu bahwa Muhammad menyembunyikan sesuatu dari apa yang diturunkan Allah SWT kepadanya, maka berdustalah orang itu, dan dia berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu.”demikianlah bunyi hadits itu secaara ringkas. Hadits ini dikemukakan oleh Bukhari-Muslim dalam Shahihain-Nya secara lengkap.[4]
Di dalam ayat-ayat yang telah lalu Allah SWT mengungkapkan watak orang-orang Yahudi yang lebih keji dari watak mereka yang telah di ungkapkan dalam ayat-ayat sebelumnya, yaitu tuduhan mereka bahwa Allah SWT bersikap kikir, tidak suka mengampuni dosa dan sebagainya. Diungkapkannya juga bahwa mereka berwatak demikian itu lantaran telah menyimpang dari tuntutan kitab Allah, sehingga mereka tidak menyadari perbuatan mereka yang keji itu. Kemudian di dalam ayat-ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw, agar menyampaikan wahyu yang telah diterima dengan tidak usah menghiraukan sikap orang-orang Yahudi yang memusuhinya, bahkan Nabi Muhammad Saw, diperintahkan untuk menyeru mereka agar kembali kepada tuntunan Taurat dan Injil, agar mereka menjadi orang yang beragama tauhid dan menempuh jalan yang benar, sesuai tuntutan nabi-nabi yang telah di utus kepada mereka dengan silih berganti[5]
Lalu dengan Firman Allah SWT, “Dan Allah melindungimu dari gangguan manusia.”maksudnya adalah, Allah menyampaikan untuk menyampaikan risalah-Nya, sehingga Allah akan melindungimu dari gangguan manusia, nenolongmu, dan membantumu dalam mengalahkan musuh-musuhmu serta menenangkanmu atas mereka. Maka janganlah kamu takut dan sedih. Tidak ada gangguan seorangpun yang akan menyentuhmu. Sebelum turun ayat ini Nabi Muhammad SAW dijaga. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah RA yang menceritakan, “pada suatu malam Rasulullah SAW berjaga. Aku mendekatinya dan berkata, ‘wahai Rasulullah, ada apa?’ Beliau menjawab, “aku berkeinginan ada orang baik hati dari sahabatku yang menjagaku pada malam hari.’ Tatkala aku bertanya demikian, tiba-tiba aku mendengar suara. Nabi bersabda, ‘siapa itu?’ Orang iru berkata, ‘Saya Sa’ad bin Malik’, Nabi bertanya, ‘Apa yang telah mendorongmu datang kesini?’ Dia menjawab, “Ya Rasulullah, saya datang untuk menjagamu.’ Maka aku mendengar dengkaur Rasulullah dalam tidurnya.” Hadits ini dikemukakan dalam Shahihain.[6]
Ayat ini mengajarkan kepada Nabi Muhammad agar tidak perlu takut menghadapi gangguan dari mereka dalam membentangkan rahasia dan keburukan tingkah laku mereka itu karena Allah menjamin akan memelihara Nabi Muhammad dari gangguan, baik masa sebelum hijrah oleh orang kafir Quraisy maupun sesudah hijrah oleh orang Yahudi. Apa-apa yang Allah telah turunkan kepada Muhammad adalah amanat yang wajib disampaikan seluruhnya kepada manusia. Menyampaikan sebagian saja dari amanat Nya dianggap sama dengan tidak menyampaikan sama sekali.
Demikianlah kerasnya peringatan tuhan kepada Muhammad. Hal tersebut menunjukkan bahwa tugas menyampaikan amanat adalah kewajiban rosul. Tugas penyampaian tersebut tidak boleh ditunda dari waktunya meskipun penundaan itu dilakukan untuk menunggu kesanggupan manusia untuk menerimanya, karena masa penundaan itu dapat dianggap sebagai suatu tindakan penyembunyian terhadap amanat Allah. Ancaman terhadap penyembunyian sebagian amanat Allah sama kerasnya ancaman terhadap sikap seseorang yang beriman kepada sebagian rosul-rosul saja dan beriman kepada sebagian ayat-ayat Al Qur'an saja. Meskipun seorang rosul bersifat maksum yakni terpelihara dari sifat tidak menyampaikan, namun pada aya ini Allah menegaskan pada rosulnya secara tegas bahwa tugas menyampaikan amanat adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar atau ditunda-tunda meskipun menyangkut peribadi rosul sendiri seprti halnya yang akan terjadi anatara Zainab binti Jahsy dengan Nabi Muhammad sebagaimana yang diuraikan oleh firman Allah.[7]
B.     Surat Ali Imron 104
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
 Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru pada kebajikan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang orang yang beruntung. [8]
1.      Asbabun Nuzul
 Pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu, Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun temurun selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya suku Aus yakni kaum Anshar dan suku Khazraj hidup berdampingan secara damai dan penuh keakraban.
Suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat suku Aus dengan suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perag Bu’ast yang pernah terjadi antara Aus dan Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing, saling mencaci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW yang mendengar peristiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka : Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah ?. setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpelukan. Sungguh peristiwa itu adalah seburuk-buruk sekaligus sebaik-baik peristiwa. Maka turunlah surat Ali Imran ayat 104.[9]
2.      Tafsir Ayat
Allah memerintahkan untuk menempuh jalan yang berbeda, yaitu menempuh jalan yang luas dan lurus serta mengajak orang lain menempuh jalan kebajikan dan makruf, dan mencegah mereka dari yang munkar yaitu dari yang nilai buruk lagi di ingkari oleh akal sehat masyarakat. Dengan adanya dakwah, maka terdapatlah masyarakat yang sehat. Dan itulah tujuan hidup manusia, sebab manusia itu pada hakekatnya tidaklah ada yang menyukai yang munkar dan menolak yang ma’ruf. Maka apabila amar ma’ruf nahi munkar terhenti, itulah tanda bahwa masyarakat tadi mulai ditimpa penyakit. Kemenangan dan kejayaan pergaulan hidup manusia ialah pada adanya kesadaran akan kebaikan dan ma’ruf dan tolakan yang mutlak atas yang munkar. Itulah sebabnya maka ujung ayat menegaskan: “Dan mereka itu, ialah orang-orang yang beroleh kemenangan” (ujung ayat 104).[10]
Disamping itu penjelasan ayat 104 Ali Imran ini, berisikan perintah Allah SWT. Bahwa setelah masing-masing berusaha memperbaiki dirinya sendiri, agar memikirkan pula nasib orang lain, merasa bertanggung jawab untuk mengajak orang lain agar memperbaiki dirinya dengan jalan mengikuti agama Allah. Untuk mencapai maksud tersebut perlu adanya segolongan umat Islam yang bergerak dalam bidang dakwah yang selalu memberi peringatan, bilamana nampak gejala-gejala perpecahan dan penyelewengan. Karena itu pada ayat ini diperintahkan agar supaya di antara umat Islam ada segolongan umat yang terlatih di bidang dakwah yang dengan tegas menyerukan kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf (baik) dan mencegah dari yang mungkar (keji).[11]
Sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda : “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Dan jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika masih tidak mampu juga, maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.”Di dalam riwayat lain disebutkan : “Dan tiadalah dibelakang itu (selain dari itu) iman barang seberat biji sawi pun.”[12]
Dengan demikian umat Islam akan terpelihara daripada perpecahan dan infiltrasi pihak manapun. Menganjurkan berbuat kebaikan saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Siapa saja yang ingin mencapai kemenangan. maka ia terlebih dahulu harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya, yaitu: kemenangan tidak akan tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak akan terwujud melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kokoh dan kuat tidak akan tercapai kecuali dengan sifat-sifat keutamaan. Tidak terpelihara keutamaan itu melainkan dengan terpeliharanya agama dan akhirnya tidak mungkin agama terpelihara melainkan dengan adanya dakwah.[13]
Maka kewajiban pertama umat Islam itu ialah menggiatkan dakwah agar agama dapat berkembang baik dan sempurna sehingga banyak pemeluk-pemeluknya. Dengan dorongan agama akan tercapailah bermacam-macam kebaikan sehingga terwujud persatuan yang kokoh kuat. Dari persatuan yang kokoh tersebut akan timbullah kemampuan yang besar untuk mencapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang memenuhi syarat-syarat perjuangan itulah orang-orang yang sukses dan beruntung.




BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dakwah berati ialah “mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul sebagaimana pendapat Drs. Hamzah Yaqub
Dan setiap umat Islam Dikenai kewajiban berdakwah sebagaimana sebelumnya Allah memerintahkan Dakwah kepada Nabi Muhammad yang pada awalnya Nabi merasa takut untuk menyampaikan risalah kenabian. Namun karena ada dukungan langsung dari Alloh maka keberanian itu muncul. Dukungan dari Alloh sebagai pihak pemberi wewenang menimbulkan semangat dan etos dakwah nabi dalam menyampaikan risalah
Dalam QS. Ali Imron ayat 104, demikian nyatalah kewajiban seorang Untuk berdakwah yakni berda’wah kepada kebaikan; da’wah kepada tauhidullah, dan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan adanya dakwah, maka terdapatlah masyarakat yang sehat. Dan itulah tujuan hidup manusia, sebab manusia itu pada hakekatnya tidaklah ada yang menyukai yang munkar dan menolak yang ma’ruf. Maka apabila amar ma’ruf nahi munkar terhenti, itulah tanda bahwa masyarakat tadi mulai ditimpa penyakit. Kemenangan dan kejayaan pergaulan hidup manusia ialah pada adanya kesadaran akan kebaikan dan ma’ruf dan tolakan yang mutlak atas yang munkar.

Daftar Pustaka
Alquran dan Tafsirnya jilid 2, Departemen agama
Terjemah Tafsir Ibnu Katsir
Abdul Aziz, Qur’an Hadis  (Semarang: CV.Wicakrana, 1994)
Mahmud,abdul halim.1995.dakwah fardiyyah.jakarta:gema insani pres
http://dyanz-kneights.blogspot.co.id/p/al-quran-surat-ali-imran-ayat-102-104.html



[1] Mahmud,abdul halim.1995.dakwah fardiyyah.jakarta:gema insani pres. Hlm 29
[2] Ibid. Hlm 29
[3] Quran Terjemah, Departemen Agama RI. Hlm 172
[4] Terjemah Ibnu Katsir, android
[5] Terjemah Ibnu Katsir, Android
[6] Alquran dan Tafsirnya jilid 2, Departemen agama RI. Hlm 484
[7] Alquran dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, hlm 486
[8] Quran terjemah, Departemen Agama RI, hlm 93
[9] http://dyanz-kneights.blogspot.co.id/p/al-quran-surat-ali-imran-ayat-102-104.html
[10] Abdul Aziz, Qur’an Hadis  (Semarang: CV.Wicakrana, 1994) hlm. 48.
[11] Alquran dan Tafsirnya, Departemen Agama RI
[12] Terjemah Ibnu Katsir, Android
[13] Alquran dan Tafsirnya, Departemen Agama RI
           
           


            

tags :

0 Komentar untuk "MAKALAH TAFSIR Kewajiban Berdakwah"

Back to Top