MAKALAH Tantang Makanan & Penyembelihan (Hadits Ahkam)

Posted by at 0 komentar
Makanan & Penyembelihan
Oleh :
Zena Arin Noviani , Mujiburrohman & Ahmad Faizin

A.    Pengertian Penyembelihan
Menurut bahasa ialah menyempurnakan kematian, sedangkan menurut istilah ialah memutus jalan makan, minum, nafas, dan urat nadi pada leher hewan dengan alat tajam, selain gigi, kuku, tulang, dan sesuai syariat.
Penyembelihan dibagi menjadi 3 bagian:
1.      Al-Zabhu yaitu memotong batang leher sebelah atas hewan yang bisa ditangkap oleh manusia untuk disembelih dengan syarat tertentu. Seperti sapi, kambing, dan sejenisnya.
2.      Al-Nahru yaitu memotong batang leher sebelah bawah hewan. Cara ini disunatkan untuk menyembelih unta.
3.      Al-Aqru yaitu sembelih darurah (terpaksa). Ia lakukan dengan cara melukai  hewan dengan kekerasan yang membawa maut dimana-mana bagian badannya.[1]

B.     Syarat-syarat Penyembelihan
Secara umum syarat-syarat  penyembelihan  yang wajib dipenuhi bagi kehalalan mengkonsumsi daging hewan sembelihan adalah berkaitan dengan  penyembelihan, alat sembelihan, anggota tubuh yang harus disembelih, dan tata  cara penyembelihan.[2]
1.      Penyembelih
Dalam penyembelihan diwajibkan bahwa penyembelih adalah orang yang berakal baik ia seorang pria maupun wanita , baik muslim maupun ahli kitab.
Jika ia tidak memenuhi syarat ini, misalnya seorang pemabuk, atau orang gila, atau anak kecil yang belum dapat membedakan, maka sembelihannya tidak halal. Demikian pula sembelihan orang musyrik penyembah patung, orang zindik, dan orang yang murtad.[3]
Syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama’ fiqih rajah, yang harus dilakukan supaya hewan yang disembelih itu halal, diuraikan sebagai berikut:
a.       Muslim Tamyiz
Penyembelihan merupakan salah satu ibadah yang membutuhkan niat dengan menyebut nama Allah. Karena itu, orang yang menyembelih bisa berakibat haramnya daging hewan yang disembelihnya.[4]Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penyembelih diutamakan laki-laki, karena dianggap lebih kuat, tapi sembelihan nitapun halal.[5]
b.      Ahli Kitab
      Timbul perselisihan pendapat dikalngan ulama tentang siapa yang dimaksud ahli kitab, dan apakah Yahudi dan Nasrani masa kini masih wajib dan wajar disebut ahli kitab, dan apakah selain dari mereka, seperti penganut agama Budha dan Hindu dapat dimasukan kedalam ahli kitab atau tidak.
      Imam Syafi’i mengatakan bahwa sembelihan ahli kitab halal, baik menyebut nama Allah atau tidak, dengan syarat tidak menyebut nama selain Allah ketika menyembelih dan tidak diperuntukan untuk tempat peribadatannya.[6] Demikian pula imam Hanafi dan Hambali sependapat dengan imam Syafi’i. Dalam hal ni yang dimaksut ahli kitab oleh imam Syafi’i, Hambali dan Hanafi adalah ahli kitab pada masa Rosulullah Muhammad SAW, sedangkan imam Maliki memandang makruh sembelihan ahli kitab demi menjaga diri dari sesuatu yang meragukan.[7]
c.       Sadar dan Berakal Sehat
Penyembelihan merupakan ibadah yang disyaratkan dan membutuhkan niat, maksud dan tujuan. Karena hal itu, hal yang lain perlu diperhatikan adalah keadaan orang yang menyembelih saat melakukan penyembelihan. Penyembelihan harus mempunyai akal dan sadar dengan apa yang dilakukan sebab penyembelihan itu merupakan ibadah kepada Allah. Hal itu tidak akan nyata apabila orang yang menyembelih adalah orang gila, orang mabuk, atau anak kecil yang belum tamyiz, ketika orang-orang tersebut melakukan penyembelihan tidak akan tepat pada bagian leher yang ditentukan oleh syara’.[8]
2.      Alat Penyembelihan
a.       Dalam keadaan normal
Salah satu syarat penyembelihan adalah penggunakan alat penyembelihan. Disyaratkankan menyembelih dengan alat yang tajam dan sekiranya mempercepat dan mempercepat kematian hewan dan meringankan rasa sakit hewan tersebut.[9] Untuk itu disyaratkan mempertajam alat penyembelihan supaya dapat mengalirkan darah dengan deras sekali sayatan pada leher agar tidak teralalu menyakitkan dan mempercepat kematian hewan sembelihan. Dilarang menyembelih menggunakan gigi dan kuku, karena penyembelihan dengan alat tersebut dapat menyakiti binatang, pada dasarnya gigi dan kuku hanya bersifat mencekik. Seperti sabda Rasulullah yang berbunyi:
ما اننهر الدم وذكر اسم الله فكل,ليس الظفر والسن اما الظفر فمدى الجبشة و اما السن فعظم
“(alat) apa saja yang dapat mengalihkan darah dan disebut nama Allah (pada saat menyembelih) maka makanlah (sembelihan itu), asalkan tidak menggunakan kuku dan gigi. Adapun kuku adalah pisaunya orang Habasyah sedangkan gigi merupakan tulangnya.”
      Secara umum, gambaran mengenai alat penyembelihan dibedakan menjadi dua. Pertama, penyembelihan  menggunakan alat dalam keadaa normal, seperti pisau sembelih. Kedua, dalam keadaan darurat, seperti menggunakan batu yang ditajamkan.
b.      Dalam keadaan darurat
Jika karena suatu keadaan tidak ada benda yang layak digunakan untuk menyembelih seperti pisau, maka penyembelihan dapat dilakukan dengan batu atau benda-benda yang sejenis lainnya dengan syarat dapat memutuskan tenggorokan dan lehernya. Keadaan yang demikian diperbolehkan dan daging sembelihan  halal untuk dimakan.
Hal yang perlu diperhatikan adalah tidak diperbolehkan membebani hewan dengan alat sembelihan yang berat karena akan menyakitinya, dan menyebabkan matinya bukan karena alat sembelihan yang tajam melainkan kekuatan dari orang yang melaksanakan penyembelihan.
C.     Syarat-syarat Hewan Yang Disembelih
Sembelihan adalah syarat yang mengharuskan kita untuk memakai hewan darat yang halal dimakan. Sebagaimana telah dijelaskan, hewan tidak halal dimakan tanpa disembelih. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam bintang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan  juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk( mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu, pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmatKu,  dan telah Ku ridloi islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah 5;3)
            Dari sudut penyembelihan menurut hukum syara’ mempunyai tiga kategori :
1.      Hewan darat
Para ulama’ fikih sepakat bahwa hewan darat bila keadaannya maqdur ‘alaih (dapat dikuasai sembelih lehernya) dan hidupnya belum putus dan disembelih dengan penyembelihan syara’ maka halal dimakan.[10] Hewan yang tidak mempunyai darah langsung seperti belalang, lalat, semut, lebah, laba-laba dan hewan-hewan yang berbisa. Semua jenis hewan ini tidak halal dimakan karena semuanya termasuk dalam hewan yang kotor yang tidak sesuai dimakan
Ulama Maliki mensyaratkan apabila belalang itu halal dimakan maka perlu disembelih dengan cara apapun yang bisa mematikannya seperti menggaretkan anggotanya. Ulama Hambali berkata, “Barang siapa yang memakan belalang dalam keadaan hidup adalah makruh karena perbuatan itu menyiksannya”.[11]
            Hewan yang mempunyai darah mengalir, jika ia merupakan hewan jinak maka halal yaitu hewan ternak seperti unta, lembu dan kambing. Hal ini pendapat ijma dikalangan ulama berdasarkan firman Allah:
Artinya: Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan.(An-Nahl 16:5)
            Ulama’ syafi’i mengharamkan burung kakak tua dan burung merak. Karena daging keduanya tidak baik, Beliau juga mengharamkan daging belatuk dan juga burung yang memburu dan memakan burung-burung kecil.
2.      Hewan Air
Dalam penyembelihan hewan air ini, ulama mempunyai dua pendapat tentang hukum memakannya.
a.       Madzhab Hanafi
Semua jenis hewan yang hidup di dalam air adalah haram dimakan kecuali ikan saja. Ikan halal dimakan tanpa disembelih dengan syarat ikan tersebut tidak mati dengan sendirinya dan dalam kondisi terapung. [12]
Selain ikan yang ada di dalam air, hewan tersebut adalah hewan yang kotor, seperti: katak, ketam ular dan sebagainya. Rasulullah juga melarang menggunakan obat yang terbuat dari hewan katak, karena katak bukan kehidupan yang terhormat dan adapun larangan membunuhnya disebabkan karena ia haram dimakan.
b.      Pendapat Jumhur Ulama Selain Madzhab Hanafi
Semua kehidupan yang hidup di dalam air seperti ikan adalah halal dimakan tanpa perlu disembelih dan mengira bagaimana cara ia mati, baik mati dengan sendirinya, dipukul oleh nelayan ataupun air pasang dan surut. Akan tetapi sekiranya ia kembung terapungnya itu menyebabkan keracunan dan mudhorot, maka ia haram dimakan.
3.      Hewan Amfibi
Yaitu jenis hewan yang boleh hidup di darat dan di dalam air sekaligus seperti katak, kura-kura, ketam ular, buaya, dan sebagainya, ada tiga pendapat yang berkaitan dengan hewan jenis ini :
a.       Pendapat Madzhab Hanafi dan Syafi’i
Hewan ini tidak halal dimakan karena tergolong dalam hewan yang kotor dan disebabkan keracunan yang terdapat pada ular khususnya.
b.      Pendapat Madzhab Maliki
Memakan katak dan segala jenis serangga karena tidak terdapat nash yang mengharamkannya. Maksud benda kotor yang diharamkan adalah setiap perkara yang diharamkan oleh syara’ saja, oleh karena itu perkara yang tidak terdapatnash dan dianggap tidak menjijikkan oleh orang yang memakannya tidaklah menjadi haram.
c.       Pendapat Madzhab Hanbali
Setiap hewan air merayap adalah halal dengan syarat disembelih terlebih dahulu. Seperti: burung air, kura-kura, anjing laut. Berbeda dengan yang tidak mempunyai darah seperti ketam, maka ia halal tanpa disembelih, hal ini menurut sebagian Madzhab Hambali. Pendapat yang ashah sebagaimana yang tercatat dalam Syarh Al Mughni oleh Ibn Mufli Al Hambali, berkata: ketam adalah tidak halal kecuali disembelih.
D.    Adab Dalam Menyembelih
Pada dasarnya, penyembelihan merupakan perkara yang ta’abbudi yang tata cara pelaksanaannya telah ditentukan oleh syara’. Karena itu, tidak diperbolehkan menyembelih dengan kehendak hati sendiri. Dari Syaddah bin Aus ra berkata,”Dua hal yang aku hafal dari Rasulullah, Beliau bersabda:
ان الله كتب الاحسان على كل شيء فاذا قتاتم  فاحسنوا القتلة. واذا ذبحتم فاحسنوا الذبح. واليحد احدكم شفرته فاليرح ذبيحة
“ Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu. Apabila engkau membunuh maka hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan jika engkau menyembelih maka hendaklah sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaknya seorang menajamkan pisau dan menyenangkan hewan sembelihannya.”
Secara umum, gambaran tentang penyembelihan dapat dibedakan kedalam dua bentuk berdasarkan keadaan hewan yang akan disembelih, yaitu penyembelihan atas hewan yang dapat disembelih lehernya (maqdur ‘alaih), dan penyembelihan atas hewan yang tidak dapat disembelih lehernya karena liar (ghair maqdur ‘alaih).
a.       Maqdur ‘Alaih
Dalam keadaan maqdur ‘alaih, hewan dapat disembelih dengan cara nahr, yaitu penyembelihan yang ditujukan pada bagian pangkal leher di atas dada dan dengan cara zabh. Zabh merupakan salah satu tazkiyah. Tazkiyah merupakan penyembelihan yang ditujukan pada ujung pangkal leher sehingga dapat melenyapkan nyawa hewan seperti dengan memburunya. Sedangkan zabh berarti memotong suatu bagian pada leher hewan yang dapat menyebabkan kematiannya.
Penyembelihan hendaknya dilaksanakan dengan menghadapkan ke arah kiblat yang merupakan arah yang diagungkan. Beberapa tata cara dalam menyembelih, yaitu:
·         Menyebut nama Allah, Imam Syafi’i menyatakan kehalalan atas sembelihan dengan menyebut nama Allah, baik karena lupa atau disengaja. Beliau memandang sunnah menyebut nama Allah atas sembelihan. Meninggalkan menyebut nama Allah dengan sengaja tidak mempengaruhi hasil sembelihan selama dilakukan oleh orang yang mempunyai keimanan kepada Allah dan RasulNya.
·         Mengasah pisau penyembelihan jauh dari hewan sembelihan.
·         Menjauhkan hewan yang disembelih jauh dari hewan lainnya.
·         Membawa dan membaringkannya dengan lembut dan menyenangkan.
·         Hendaknya digulingkan kesebelah rusuk kirinya, agar memudahkan bagi orang yang menyembelihnya.
·         Kerongkongan dan tenggorokan harus teropong.[13]
b.      Ghair Maqdur ‘Alaih
Berkenaan dengan hewan ghair maqdur ‘alaih yang terbagi atas hewan buruan dan hewan ternak karena suatu hal menjadi liar dihukumi sama dengan hewan buruan. Hewan dalam keadaan ini bisa dibunuh dibagian manapun dari tubuhnya dengan menggunakan benda tajam atau alat apapun yang dapat menaglirkan darah dan mempercepat kematiannya.
      Ulama fiqih menyepakati bahwa selama masih ada hayyat mustaqirahnya, maka hewan tersebut boleh disembelih. Tanda-tanda hayyat mustaqirah adalah gerakan keras pada hewan setelah diputuskan bagian-bagian tubuhnya disertai dengan memancar dan mengalirkan darah dengan deras. Jadi, jika penyembelihan dilakukakan secara perlahan dan usaha pemotongan terlalu lamban sehingga ketika penyembelihan selesai ternyata hewan itu tidak bergerak-gerak lagi berarti nyawanya yang menetap telah tiada sebelum sempurnanya penyembelihan. Maka jelaslah hewan itu belum sempat disembelih sudah mati dan halal dimakan.
      Jika nyawanya sudah tidak menetap lagi sebelum disembelih, maka tidak halal dimakan kecuali sebelumnya telah disembelih secara darurat. Dalam hal ini, mengalirnya darah dari urat leher setelah pemotongan bukan merupakan petunjuk atas adanya nyawa yang menetap.



[1] Muhammad Abduh, “Studi Perbandingan Konsep Pelaksanaan Penyembelihan Binatang Ternak Sapi antara Rumah Sembelihan (Arbotoir) Gong Medang dan Rumah Sembelihan (Tradisional) Dikampung Rawa Besut Terengganu Menurut Hukum Islam, (Panam: Uin Suka 2002), hal.30
[2] Yusuf Qordhowi, Halal dalam Islam, Diterjemahkan oleh Tim Kuadran dari Halal wal Haram fil Islam, (Bandung: Jabal, 2007), 67-68
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah 13,…132
[4] Abdul Fatah Idris, Terjemahan Ringkas Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1987
[5] Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6,...1971
[6] Ibid, 1970
[7] Abu Muhammad Abdul Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Islam,...258
[8] Ibid, 198
[9] Ibid, 201
[10] Abu Sari’, Hukum Makanan Dan Sembelihan Dalam Pendapat Islam, h.317
[11] Syed Ahmad, Fiqh dan Perundangan Hukum Islam, h.782
[12] Ibid, 780
[13] Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 6....1971

tags :

0 Komentar untuk "MAKALAH Tantang Makanan & Penyembelihan (Hadits Ahkam)"

Back to Top