Salat Jama’ dan Qashar
Oleh :
Winarti,
Wildan El Mazir & Deyis Magfirotul Hikmah
Bepergian jauh
(safar) menurut kesepakatan ulama’ mengakibatkan salat diperbolehkan di Jama’
dan di Qashar. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa Allah memberikan kemudahan
kepada hambanya untuk tetap melakanakan salat dalam situasi dan kondisi apapun.
Dalam suatu riwayat, Allah menyukai supaya kita laksanakan apa yang telah
dimudahkan sebagaimana Dia menyukai kita mengerjakan hukum-hukum-Nya yang
berat. Namun demikian, ada perbedaan pendapat ulama’ tentang boleh-tidak
melakukan salat Jama’ dan Qashar. Permasalahan-permasalahan ini akan tekupas
tuntas dalam deretan pembahasan berikut:
A.
Salat
Jama’
Menurut
bahasa salat jama' artinya salat yang dikumpulkan. Sedangkan menurut syariat
Islam ialah dua salat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena ada
sebab-sebab tertentu.
عن أنس بن مالك
رضي ا لله عنه
قال :كان رسول الله
عليه وسلم إذاارتحل في
سفر قبل أن
تزيغ الشمس أجر
الظهر إلي وقت
العصر ثم نز
ل فجمع بينهما
فإذازاغت الشمس قبل أن يرتحل
صلي اظهر ثم ركب
.(متفق عليه)
1.
Terjemah
Hadits
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik r.a berkata. “Apabila Rasullah SAW. musyafir atau bepergian
sebelum matahari condong kebarat, beliau menangguhkan atau mengakhirkan salat
zuhur kewaktu ashar. Kemudian beliau turun (berhenti) dan menyatukan kedua salat
tersebut. Akan tetapi, bila matahari telah condong kearah barat sebelum beliau
berangkat, beliau melakukan salat zuhur terlebih dahulu kemudian beliau
berangkat.
2.
Penjelasan
umum
Karena
perjalanan dapat menimbulkan kesulitan dalam menjalakan ibadah salat, Allah SWT
menetapkan keringanan sebagai rahmat-Nya bagi seorang musafir (yang bepergian)
untuk menyatukan atau menjama’ dua salat yang bebarengan atau berdekatan
waktunya, seperti salat zuhur dengan Asar, magrib dengan isya’, baik jama’
takdim maupun jama’ takhir. Pendapat ini merupakan pendapat dari para jumhur.
Mereka mengemukakan Hadits di atas yang menyatakan pelaksanaan salat jama’
takdim dan Hadits lain yang menyatakan pelaksanaan salat jama takhir.
Imam Abu
Hanifah memiliki pendapat yang berbeda dari para jumhur. Beliau melarang jama’
dalam salat, baik jama’ takdim maupun jama’ takhir. Beliau melakukan takwil
terhadap Hadits-Hadits tentag jama’. Menurytnya, ungkapan jama’ terdapat dalam Hadits-Hadits
tersebut bersifat shuwari yag mengandung pengertian penempatan salat awal di
akhir waktu dan akhir di awal waktu. Dengan demikian, orang yang melihat zahir Hadits-Hadits
tersebut akan mengira bahwa kedua salat tersebut di jama’ atau disatukan. Akan
tetapi, orang yag melihat hakikatnya, dia akan mengetahui bahwa masing-masing
salat tersebut sebenarnya dilakukan pada waktunya.
3.
Pemahaman
kandungan Hadits
Hadits diatas
menunjukkan kebolehan melakukan jama’ takdim dan jama’ takhir bagi orang yang
bepergian. Pendapat ini merupakan pendapat dari imam Malik, Ahmad, dan
Asy-Syafi’i. Adapun Malik dan Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa seorang musafir
hanya boleh melakukan jama’ takhir saja. Sementara itu, imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa seorang musafir tidak boleh menjama salat, baik jama takdim
maupun jama ta’khir. Dia melakukan takwil pelaksanaan salat jama yang dilakukan
oleh nabi Muhammad SAW. sebagai shuwari, yakni melaksanakan salat zuhur
di akhir waktu san salat ashar di awal waktu. Begitu pula dengan salat isya.
Akan tetapi, pendapatnya mendapat sanggahan bahwa meskipun dapat dijadikan
argumentasi sebagai dasar pijakan pelaksanaan jama ta’khir, hadits tersebut tidak
bisa menyanggah keberadaan jama takdim yang dipahami dari riwayat Al Hakim dan
riwayat Abu Nu’aim di atas yang keduanya memiliji pedikat shahih.
Para imam juga
berbeda pendapat mengenai sikap yang lebih utama bagi seorang musafir terhadap
pelaksanaan jama ini, apakah ia lebih utama melaksanakan jama atau salat sesuai
dengan waktunya? Dalam hal ini Syafiieah berpendapat bahwa meninggalkan jama
bagi seorang musafir lebih utama dari pada melaksanakannya. Sementara itu,
pendapat lainnya bahwa pelaksanaan jama dikhususkan bagi mereka yang halangan
(uzur).
Ketahuilah
bahwa Nabi SAW. sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dalam Al-Hadyu
An-Nabawi, tidak pernah melakukan jama dalam perjalanannya sebagaimana
halnya yang dilakukan oleh kebanyakan manusia. Begitu pula beliau tidak pernah
melakukannya ketika singgah atau mampir di suatu tempat untuk beristirahat di
perjalanan, kecuali di Arafah dan di Muzdalifah. Beliau melakukan jama takdim
di Arafah, yakni salat zuhur, dan ashar dan jama ta’khir di Muzdalifah. Menurut
Imam Abu Hanifah pelaksanaan salat jama di tempat tersebut merupakan kesempurnaan
peribadahan Haji dan menjadi sebab pelaksanaan salat jama tersebut. Akan
tetapi, menurut Ahmad, Malik dan As-Syafi’ie, penyebab salat jama di arafah dan
Muzdalifah itu adalah perjalan. Demikianlah pendapat-pendapat mengenai salat
jama dalam perjalanan atau bagi seorang musafir.[1]
Syarat-Syarat Salat
Jama’
1.
MenJama’ dalam
perjalanan. MenJama’ dua salat dalam
perjalanan baik taqdim ataupun
ta’khir, pada salah satu waktu pada salat itu boleh dilakukan, dengan syarat
sebagai berikut :
a)
Perjalanan tersebut
merupakan perjalanan yang dibolehkan mengQashar. Tetapi menurut maliki,
boleh menJama’ salat pada setiap
perjalanan sekalipun tidak mencapai jarak Qashar.
b)
Berturut-turut
dalam mengerjakan kedua salat yang diJama’ sehingga antara keduanya itu tidak
berselang lama, yakni dua rakaat ringan,
tetapi diantara dua rakaat itu di perbolehkan
bersuci, azan dan iqomah.
Ketentuan syarat ini hanya berlaku bagi Jama’ taqdim, tidak bagi Jama’ ta’hir.
c)
Dua salat
dilakukan tertib, yakni dimulai dari salat pertama ( dzuhur atau magrib).
d)
Niat menJama’
dalam salat pertama, misalnya “ saya salat zuhur secara Qashar
dan dihgabung dengan asar.
e)
Perjalanan tetap berlangsung. Seandainya terhenti
atau kendaraan yang dinaikinya telah
sampai dan melewati tempat di mana Qashar dibolehksn , maka salat kedua tidak
boleh diJama’ taqdimkan dengan salat pertama bila bila salat kedua itu belum
dikerjakan. Tetapi menurut ulama
syafi’I, jika sudah bertakbir untuk salat kedua lalu perjalanannya
berhenti, maka Jama’ ( taqdim) boleh dilakukan dan salat yang telah diniatkan
di Jama’ itu tetap diteruskan..
2.
MenJama’ disaat
hujan turun , disebabkan adanya salju atau embun. Ulama maliki dan hambali
menambahkan, juga karena banyak lumpur di malam yang sangat gelap . ulama
hambali menambahkan pula: di saat udara sangat dingin dan banyak salju,
dalam keadaan seperti itu boleh melakukan Jama’ dengan
ketentuan sebagai berikut:
a)
Hanya boleh menJama’
taqdim salat magrib dengan isya saja, tetapi menurut golongan hambali, boleh
juga secara ta’khir, yakni salat magrib
yang diundurkan sampai tiba waktu isya’. Dan golongan-golongan Syafi’ie membolehkan pula menjama’ Dzuhur dan ashar
secara taqdim.
b)
Hujan terus
turun ketika menunaikan salat pertama.
c)
Salat jama’
dikerjakan secara berjamaah di masjid kecuali menurut ulama’ Hambali yang
membolehkan menjama’ sekali pu dikerjakan di rumah seorang diri.
d)
Imam harus niat menjadi imam dan salat dengan
berjamaah, karena berjamaah merupakan salah satu syatratnya.
e)
Kedua salat
dikerjakan berturut-turut, sehingga antara keduanya tidak terpisah dengan waktu lama, tetapi boleh membacakan
iqomat untuk salat kedua.
f)
Kedua salat
dilakukan secara tertib, dimulai dengan salat magrib lebih dahulu dan baru
kemudian salat isya’.[2]
Syarat Jama’
Taqdim
syarat jama’
taqdim menurut pendapat sebagia ulama ada tiga:
1)
Hendaklah
dimulai dengan yang pertama (dzuhur sebelum asar, atau magrib sebelum isya’)
karena waktunya adalah waktu yang pertama.
2)
Berniat jama’
agar berbeda dengan salat yang terdahulu karena lupa.
3)
Berturut-turut,
sebab keduanya seolah-olah satu salat.[3]
Syarat Jama’ Takhir
Pada waktu yang pertama hendaklah berniat akan melakukan salat
pertama itu di waktu yang kedua, supaya ada maksud bersungguh-sungguh akan
mengerjakan salat pertama itu dan tidak akan di tinggalkan begitu saja.[4]
B.
Salat
Qashar
Salat
qashar menurut bahasa ialah salat yang diringkas, yaitu meringkas salat yang
jumlahnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Dalam hal ini salat yang dapat diringkas
adalah zhuhur, ashar dan isya.
عن
عائشة رضي االله عنها قا لت : أول ما فرضت الصلاة ركعتين فأقرت صلاة السفر وأتمت
صلاة الحضر.(متفق عليه) وللبخري: ثم ها جرففر ضت أربعا وأقرت صلاة السفر على
الأول,زادأحمد : ألاالمغر با فأنهاوتر النهار, وألاالصبح فأتها تطو ل فيهاالقراءة.
C.
Terjemah Hadits
Diriwayatkan
dari Aisyah r.a dia berkata, pada tahap awal salat wajib itu dua rakaat.
Kemudian ditetapkan salat safar atau salat dalam perjalanan (dua rakaat) dan
disempurnakan rakaat bagi salat yang buka dalam perjalanan (menjadi empat
rakaat) (mutafaq alaih). Didalam riwayat Al-Bukhari dikatakan, “kemudian beliau
hijrah kemadinah, maka salat wajib menjadi empat rakaat dan salat safar
ditetapkan sebagaimana keadaan semula (yakni dua rakaat)”. Ahmad menambahkan,
“kecuali salat magrib, karena merukan penghujung hari dan kecuali salat subuh
karena bacaannya diperpanjang.”
1)
Penjelasan umum
Karena
perjalanan dapat menumbuhka kelelahan, Allah menetapkan atau membuat aturan
pelaksanaan salat yang dipersingkat. Penyingkatan atau pemendekan salat ini
haya berlaku bagi yang terdiri atas empat rakaat. Mereka yang berpergian dapat
menyingkat macam salat ini menjadi dua rakaat sebagai keringanan sampai mereka
kembali kekampung halamannya. Adapun salat yag memiliki tiga rakaat tidak dapat
dipersingkat, hal ini karena salat magrib merupakan salat rakaat ganjil di
penghujung hari dan Allah mencintainya. Begitu pula salat subuh, tidak
dipersingkat sebab, bacaannya juga panjang, sedangkan pemendekan akan
menghilangkan pemajanga bacaan yang dikehendaki.
2)
Pemahaman
kandungan hadits
a) Syariat memendekkan salat bagi mereka yag berpergian adalah dalam
salat wajib yang berakaat empat menjadi dua rakaat. Bahkan, menurut ibnu Abbas,
dalam kondisi takut, salat dapat dipendekkan menjadi satu rakaat. Akan tetapi,
jumhur ulama’ menakwil Hadits Ibn Abbas bahwa yang dimaksud satu rakaat adalah
satu rakaat bersama imam dan rakaat sisanya dilakukan secara menyendiri.
b)
Tidak ada
perubahan dalam pelaksanaan salat subuh dan salat magrib dari aturan semula,
baik dalam keadaan mukim maupun dalam perjalanan.
c)
Di isyaratkan
memanjangkan bacaan dalam salat subuh.[5]
Syarat-Syarat Salat Qashar
a)
Jarak
perjalanan pergi mencapai 16 farsakh ( bukan jarak pulang pergi). 1 farsakh
mencapai sama dengan 3 mil, dan 1 mil sama dengan 6000 hasta tangan. Jarak ini
sama dengan 80,540 km. tetapi menurut ulama maliki, sah qashar dalam perjalanan yang berjarak tempuh
65,764 km. ulama hanafi berpendapat, jarak yang dibolehkannya qashar ini
di hitung dengan waktu, yaitu tiga marhalah, tiga marhalah itu sama dengan 24
farsakh, hampir 85 km.
b)
Niat
berpergian. Dalam niat harus memperhatikan dua hal : pertama, niat menempuh perjalanan dengan
sempurna dari awal berangkat, jadi seandaianya seseorang berpergian tanpa ada tujuan yang jelas maka dia tidak boleh mengqashar salat, sekalipun ia telah
menjelajahi seluruh penjuru dunia. Kedua, berhak menetapkan niat sendiri.
c)
Perjalanannya
itu harus mubah, tidak dilarang syari’at. Jika seseorang berpergian untuk
kemaksiatan maka tidak boleh mengqashar. Namun menurut ulama maliki dan hanafi
memperbolehkan mengqashar sekalipun ia melakukan dosa di perjalananya.
d)
Musafir harus
melewati batas kota dimana ia pergi.
e)
Tidak boleh
bermakmum kepada orang mukim atau musafir
yang menyempurnakan salatnya. Jika hal ini dilakukan, maka salat
ini harus dilakukan secara sempurna, meskipun bermakmumnya itu pada tasahud
akhir. Namun menurut ulama maliki, jika tidak mendapatkan satu rakaat penuh dengan
imam maka salat boleh di Qashar.
f)
NIAT
qashar pada setiap salat yang dilakukan
secara qashar. Menurut ulama maliki, niat itu cukup hanya pada salat pertama
saja yang dikerjakan secara qashar, tidak harus selalu di setiap salat seperti
halnya niat puasa yang cukup berniat pada malam pertama bulan Ramadhan.[6]
Hukum Qashar
Ada empat pendapat tentang hukum qashar
a)
Pendapat Abu
Hanifah dan pengikutnya serta ulama Kufah dan pengikutnya bahwa hukumnya fardhu
‘Ain.
b)
Pendapat
sebagian pengikut As-Syafi’I boleh dipilih antara qashar dengan tidak, nlainya
sama.
c)
Pendapat Malik
hukumnya sunnah.
d)
Pendapat
Aas-Syafi’I bahwa qashar itu sebagai dispensasi, dan tanpa qashar adalah lebih
utama.[7]
[1] Drs. Taufiq
Rahman M.Ag, Hadits-Hadits Hukum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000)
Hal.39-43
[2] Zeid Husein
Al-Hamidi dan Drs. M. Hasanudin, Salat Empat Madzhab, (Bogor: PT Pustaka
Litera Antar Nusa).
[3] Ibid
[4] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, (Lampung: Sinar Baru Algensindo) hal 121
[5] Drs. Taufiq
Rahman M.Ag, Hadits-Hadits Hukum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hal
35-38
[6] Zeid Husein
Al-Hamidi dan Drs. M. Hasanudin, Salat Empat Madzhab, (Bogor: PT Pustaka
Litera Antar Nusa).
0 Komentar untuk "MAKALAH Tentang Jama' dan Qashar (Hadits Ahkam)"