MAKALAH Tentang Jama' dan Qashar (Hadits Ahkam)

Posted by at 0 komentar
Salat Jama’ dan Qashar
Oleh :
Winarti, Wildan El Mazir & Deyis Magfirotul Hikmah


Bepergian jauh (safar) menurut kesepakatan ulama’ mengakibatkan salat diperbolehkan di Jama’ dan di Qashar. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa Allah memberikan kemudahan kepada hambanya untuk tetap melakanakan salat dalam situasi dan kondisi apapun. Dalam suatu riwayat, Allah menyukai supaya kita laksanakan apa yang telah dimudahkan sebagaimana Dia menyukai kita mengerjakan hukum-hukum-Nya yang berat. Namun demikian, ada perbedaan pendapat ulama’ tentang boleh-tidak melakukan salat Jama’ dan Qashar. Permasalahan-permasalahan ini akan tekupas tuntas dalam deretan pembahasan berikut:
A.    Salat Jama’
Menurut bahasa salat jama' artinya salat yang dikumpulkan. Sedangkan menurut syariat Islam ialah dua salat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena ada sebab-sebab tertentu.
عن أنس  بن  مالك  رضي  ا لله  عنه  قال :كان  رسول  الله  عليه  وسلم إذاارتحل  في  سفر  قبل  أن  تزيغ  الشمس  أجر  الظهر  إلي  وقت  العصر  ثم  نز  ل  فجمع  بينهما  فإذازاغت  الشمس  قبل  أن  يرتحل  صلي  اظهر  ثم  ركب .(متفق  عليه)
1.      Terjemah Hadits
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a berkata. “Apabila Rasullah SAW. musyafir atau bepergian sebelum matahari condong kebarat, beliau menangguhkan atau mengakhirkan salat zuhur kewaktu ashar. Kemudian beliau turun (berhenti) dan menyatukan kedua salat tersebut. Akan tetapi, bila matahari telah condong kearah barat sebelum beliau berangkat, beliau melakukan salat zuhur terlebih dahulu kemudian beliau berangkat.
2.      Penjelasan umum
Karena perjalanan dapat menimbulkan kesulitan dalam menjalakan ibadah salat, Allah SWT menetapkan keringanan sebagai rahmat-Nya bagi seorang musafir (yang bepergian) untuk menyatukan atau menjama’ dua salat yang bebarengan atau berdekatan waktunya, seperti salat zuhur dengan Asar, magrib dengan isya’, baik jama’ takdim maupun jama’ takhir. Pendapat ini merupakan pendapat dari para jumhur. Mereka mengemukakan Hadits di atas yang menyatakan pelaksanaan salat jama’ takdim dan Hadits lain yang menyatakan pelaksanaan salat jama takhir.
Imam Abu Hanifah memiliki pendapat yang berbeda dari para jumhur. Beliau melarang jama’ dalam salat, baik jama’ takdim maupun jama’ takhir. Beliau melakukan takwil terhadap Hadits-Hadits tentag jama’. Menurytnya, ungkapan jama’ terdapat dalam Hadits-Hadits tersebut bersifat shuwari yag mengandung pengertian penempatan salat awal di akhir waktu dan akhir di awal waktu. Dengan demikian, orang yang melihat zahir Hadits-Hadits tersebut akan mengira bahwa kedua salat tersebut di jama’ atau disatukan. Akan tetapi, orang yag melihat hakikatnya, dia akan mengetahui bahwa masing-masing salat tersebut sebenarnya dilakukan pada waktunya.
3.      Pemahaman kandungan Hadits
Hadits diatas menunjukkan kebolehan melakukan jama’ takdim dan jama’ takhir bagi orang yang bepergian. Pendapat ini merupakan pendapat dari imam Malik, Ahmad, dan Asy-Syafi’i. Adapun Malik dan Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa seorang musafir hanya boleh melakukan jama’ takhir saja. Sementara itu, imam Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang musafir tidak boleh menjama salat, baik jama takdim maupun jama ta’khir. Dia melakukan takwil pelaksanaan salat jama yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. sebagai shuwari, yakni melaksanakan salat zuhur di akhir waktu san salat ashar di awal waktu. Begitu pula dengan salat isya. Akan tetapi, pendapatnya mendapat sanggahan bahwa meskipun dapat dijadikan argumentasi sebagai dasar pijakan pelaksanaan jama ta’khir, hadits tersebut tidak bisa menyanggah keberadaan jama takdim yang dipahami dari riwayat Al Hakim dan riwayat Abu Nu’aim di atas yang keduanya memiliji pedikat shahih.
Para imam juga berbeda pendapat mengenai sikap yang lebih utama bagi seorang musafir terhadap pelaksanaan jama ini, apakah ia lebih utama melaksanakan jama atau salat sesuai dengan waktunya? Dalam hal ini Syafiieah berpendapat bahwa meninggalkan jama bagi seorang musafir lebih utama dari pada melaksanakannya. Sementara itu, pendapat lainnya bahwa pelaksanaan jama dikhususkan bagi mereka yang halangan (uzur).
Ketahuilah bahwa Nabi SAW. sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dalam Al-Hadyu An-Nabawi, tidak pernah melakukan jama dalam perjalanannya sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kebanyakan manusia. Begitu pula beliau tidak pernah melakukannya ketika singgah atau mampir di suatu tempat untuk beristirahat di perjalanan, kecuali di Arafah dan di Muzdalifah. Beliau melakukan jama takdim di Arafah, yakni salat zuhur, dan ashar dan jama ta’khir di Muzdalifah. Menurut Imam Abu Hanifah pelaksanaan salat jama di tempat tersebut merupakan kesempurnaan peribadahan Haji dan menjadi sebab pelaksanaan salat jama tersebut. Akan tetapi, menurut Ahmad, Malik dan As-Syafi’ie, penyebab salat jama di arafah dan Muzdalifah itu adalah perjalan. Demikianlah pendapat-pendapat mengenai salat jama dalam perjalanan atau bagi seorang musafir.[1]
Syarat-Syarat Salat Jama’
1.   MenJama’  dalam  perjalanan. MenJama’ dua salat dalam  perjalanan  baik taqdim ataupun ta’khir, pada salah satu  waktu  pada salat itu boleh dilakukan, dengan syarat sebagai berikut :
a)         Perjalanan  tersebut  merupakan perjalanan yang dibolehkan mengQashar. Tetapi menurut maliki, boleh menJama’ salat  pada setiap perjalanan sekalipun tidak mencapai jarak Qashar.
b)        Berturut-turut dalam mengerjakan kedua salat yang diJama’ sehingga antara keduanya itu tidak berselang  lama, yakni dua rakaat ringan, tetapi diantara dua rakaat itu di perbolehkan  bersuci, azan dan  iqomah. Ketentuan syarat ini hanya berlaku bagi Jama’ taqdim, tidak bagi Jama’ ta’hir.
c)         Dua salat dilakukan tertib, yakni dimulai dari salat pertama ( dzuhur atau  magrib).
d)        Niat menJama’ dalam  salat  pertama, misalnya “ saya salat zuhur  secara Qashar  dan dihgabung dengan  asar.
e)         Perjalanan  tetap berlangsung. Seandainya terhenti atau  kendaraan yang dinaikinya telah sampai dan melewati tempat di mana Qashar dibolehksn , maka salat kedua tidak boleh diJama’ taqdimkan dengan salat pertama bila bila salat kedua itu belum dikerjakan. Tetapi menurut ulama  syafi’I, jika sudah bertakbir untuk salat kedua lalu perjalanannya berhenti, maka Jama’ ( taqdim) boleh dilakukan dan salat yang telah diniatkan di Jama’ itu tetap diteruskan..
2.   MenJama’ disaat hujan turun , disebabkan adanya salju atau embun. Ulama maliki dan hambali menambahkan, juga karena banyak lumpur di malam yang sangat gelap . ulama hambali menambahkan pula: di saat udara sangat dingin dan banyak salju, dalam  keadaan  seperti itu boleh melakukan Jama’ dengan ketentuan sebagai berikut:
a)         Hanya boleh menJama’ taqdim salat magrib dengan isya saja, tetapi menurut golongan hambali, boleh juga secara  ta’khir, yakni salat magrib yang diundurkan sampai tiba waktu isya’. Dan golongan-golongan Syafi’ie  membolehkan pula menjama’ Dzuhur dan ashar secara taqdim.
b)        Hujan terus turun ketika menunaikan salat pertama.
c)         Salat jama’ dikerjakan secara berjamaah di masjid kecuali menurut ulama’ Hambali yang membolehkan menjama’ sekali pu dikerjakan di rumah seorang diri.
d)        Imam  harus niat menjadi imam dan salat dengan berjamaah, karena berjamaah merupakan salah satu syatratnya.
e)         Kedua salat dikerjakan berturut-turut, sehingga antara keduanya  tidak terpisah  dengan waktu lama, tetapi boleh membacakan iqomat untuk salat kedua.
f)         Kedua salat dilakukan secara tertib, dimulai dengan salat magrib lebih dahulu dan baru kemudian salat isya’.[2]

Syarat Jama’ Taqdim
syarat jama’ taqdim menurut pendapat sebagia ulama ada tiga:
1)      Hendaklah dimulai dengan yang pertama (dzuhur sebelum asar, atau magrib sebelum isya’) karena waktunya adalah waktu yang pertama.
2)      Berniat jama’ agar berbeda dengan salat yang terdahulu karena lupa.
3)      Berturut-turut, sebab keduanya seolah-olah satu salat.[3]
Syarat Jama’ Takhir
Pada waktu yang pertama hendaklah berniat akan melakukan salat pertama itu di waktu yang kedua, supaya ada maksud bersungguh-sungguh akan mengerjakan salat pertama itu dan tidak akan di tinggalkan begitu saja.[4]

B.     Salat Qashar
Salat qashar menurut bahasa ialah salat yang diringkas, yaitu meringkas salat yang jumlahnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Dalam hal ini salat yang dapat diringkas adalah zhuhur, ashar dan isya.
عن عائشة رضي االله عنها قا لت : أول ما فرضت الصلاة ركعتين فأقرت صلاة السفر وأتمت صلاة الحضر.(متفق عليه) وللبخري: ثم ها جرففر ضت أربعا وأقرت صلاة السفر على الأول,زادأحمد : ألاالمغر با فأنهاوتر النهار, وألاالصبح فأتها تطو ل فيهاالقراءة.
C.     Terjemah Hadits
Diriwayatkan dari Aisyah r.a dia berkata, pada tahap awal salat wajib itu dua rakaat. Kemudian ditetapkan salat safar atau salat dalam perjalanan (dua rakaat) dan disempurnakan rakaat bagi salat yang buka dalam perjalanan (menjadi empat rakaat) (mutafaq alaih). Didalam riwayat Al-Bukhari dikatakan, “kemudian beliau hijrah kemadinah, maka salat wajib menjadi empat rakaat dan salat safar ditetapkan sebagaimana keadaan semula (yakni dua rakaat)”. Ahmad menambahkan, “kecuali salat magrib, karena merukan penghujung hari dan kecuali salat subuh karena bacaannya diperpanjang.”
1)        Penjelasan umum
Karena perjalanan dapat menumbuhka kelelahan, Allah menetapkan atau membuat aturan pelaksanaan salat yang dipersingkat. Penyingkatan atau pemendekan salat ini haya berlaku bagi yang terdiri atas empat rakaat. Mereka yang berpergian dapat menyingkat macam salat ini menjadi dua rakaat sebagai keringanan sampai mereka kembali kekampung halamannya. Adapun salat yag memiliki tiga rakaat tidak dapat dipersingkat, hal ini karena salat magrib merupakan salat rakaat ganjil di penghujung hari dan Allah mencintainya. Begitu pula salat subuh, tidak dipersingkat sebab, bacaannya juga panjang, sedangkan pemendekan akan menghilangkan pemajanga bacaan yang dikehendaki.
2)   Pemahaman kandungan hadits
a)    Syariat memendekkan salat bagi mereka yag berpergian adalah dalam salat wajib yang berakaat empat menjadi dua rakaat. Bahkan, menurut ibnu Abbas, dalam kondisi takut, salat dapat dipendekkan menjadi satu rakaat. Akan tetapi, jumhur ulama’ menakwil Hadits Ibn Abbas bahwa yang dimaksud satu rakaat adalah satu rakaat bersama imam dan rakaat sisanya dilakukan secara menyendiri.
b)   Tidak ada perubahan dalam pelaksanaan salat subuh dan salat magrib dari aturan semula, baik dalam keadaan mukim maupun dalam perjalanan.
c)    Di isyaratkan memanjangkan bacaan dalam salat subuh.[5]

Syarat-Syarat Salat Qashar
a)      Jarak perjalanan pergi mencapai 16 farsakh ( bukan jarak pulang pergi). 1 farsakh mencapai sama dengan 3 mil, dan 1 mil sama dengan 6000 hasta tangan. Jarak ini sama dengan 80,540 km. tetapi menurut ulama maliki, sah qashar dalam  perjalanan yang berjarak  tempuh  65,764 km. ulama hanafi berpendapat, jarak yang dibolehkannya qashar ini di hitung dengan waktu, yaitu tiga marhalah, tiga marhalah itu sama dengan 24 farsakh, hampir 85 km.
b)      Niat berpergian. Dalam niat harus memperhatikan dua hal :  pertama, niat menempuh perjalanan dengan sempurna dari awal berangkat, jadi seandaianya seseorang  berpergian tanpa ada tujuan yang  jelas maka dia tidak boleh  mengqashar salat, sekalipun ia telah menjelajahi seluruh penjuru dunia. Kedua, berhak menetapkan niat sendiri.
c)      Perjalanannya itu harus mubah, tidak dilarang syari’at. Jika seseorang berpergian untuk kemaksiatan maka tidak boleh mengqashar. Namun menurut ulama maliki dan hanafi memperbolehkan mengqashar sekalipun ia melakukan dosa di perjalananya.
d)     Musafir harus melewati batas kota dimana ia pergi.
e)      Tidak boleh bermakmum  kepada orang mukim atau  musafir  yang  menyempurnakan  salatnya. Jika hal ini dilakukan, maka salat ini harus dilakukan secara sempurna, meskipun bermakmumnya itu pada tasahud akhir. Namun menurut ulama maliki, jika tidak mendapatkan satu rakaat  penuh dengan  imam  maka salat boleh di Qashar.
f)       NIAT qashar  pada setiap salat yang dilakukan secara qashar. Menurut ulama maliki, niat itu cukup hanya pada salat pertama saja yang dikerjakan secara qashar, tidak harus selalu di setiap salat seperti halnya niat puasa yang cukup berniat pada malam pertama bulan  Ramadhan.[6]

Hukum Qashar
Ada empat pendapat tentang hukum qashar
a)    Pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya serta ulama Kufah dan pengikutnya bahwa hukumnya fardhu ‘Ain.
b)   Pendapat sebagian pengikut As-Syafi’I boleh dipilih antara qashar dengan tidak, nlainya sama.
c)    Pendapat Malik hukumnya sunnah.
d)   Pendapat Aas-Syafi’I bahwa qashar itu sebagai dispensasi, dan tanpa qashar adalah lebih utama.[7]




[1] Drs. Taufiq Rahman M.Ag, Hadits-Hadits Hukum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hal.39-43
[2] Zeid Husein Al-Hamidi dan Drs. M. Hasanudin, Salat Empat Madzhab, (Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa).     
[3] Ibid
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Lampung: Sinar Baru Algensindo) hal 121
[5] Drs. Taufiq Rahman M.Ag, Hadits-Hadits Hukum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hal 35-38
[6] Zeid Husein Al-Hamidi dan Drs. M. Hasanudin, Salat Empat Madzhab, (Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa).
[7] Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid. (Jakarta: Pustaka Amani. 1995. Hal. 352)

tags :

0 Komentar untuk "MAKALAH Tentang Jama' dan Qashar (Hadits Ahkam)"

Back to Top