Najis
Oleh :
Shofiatul Qolbi, Arifatus Soliha & Siti
Ma’rufatul Mu’arofah
1. PENGERTIAN
NAJIS DAN PEMBAGIANNYA
Kata najis
menurut bahasa ialah sesuatu yang menjijikkan. Sedangkan menurut syara’, najis
ialah kotoran yang bagi setiap Muslim wajib mensucikan diri daripadanya dan
mensucikan apa yang dikenainya.[1] Ada
juga yang berpendapat bahwa najis adalah sesuatu yang mencegah sahnya shalat. Najis
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu najis mughalladzah, najis mukhaffafah,
dan najis mutawassithah.
a.
Najis
mughalladhah atau najis berat yaitu najis yang timbul dari dari najis anjing
dan babi.
b.
Najis
mukhaffafah atau najis ringan yaitu najis seperti air kencing bayi laki-laki
yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu
ibunya.
c.
Najis
mutawassithah atau najis sedang/pertengahan yaitu kotoran seperti kotoran
manusia atau binatang, air kencing bayi perempuan, nanah, darah, bangkai, dan
najis-najis lain selain yang disebut dalam najis mughalladhah dan mukhaffafah.[2]
Najis ini dibagi menjadi dua bagian yaitu:
·
Najis Hukmiyah,
yaitu yang kita yakini adanya tetapi tidak zatnya, baunya, rasanya, dan
warnanya. Seperti kencing yang sudah lama kering sehingga sifat-sifatnya telah
hilang.
·
Najis Ainah,
yaitu najis yang masih ada zat, warna, rasa, atau baunya. Terkecuali warna atau
bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan.[3]
2. MACAM-MACAM
NAJIS DAN CARA MEMBERSIHKANNYA
A. BANGKAI
قال النبي ص م: إذ دبغ الأهاب فقد طهر
ARTINYA: “Jika kulit bangkai telah disamak, berarti ia
telah suci.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Bangkai ialah
yang mati secara begitu saja artinya tanpa disembelih menurut ketentuan agama.
Termasuk juga dalam ini apa yang dipotong dari binatang hidup. Dari riwayat diatas
sekaligus menjadi dalil untuk mensucikan kulit bangkai binatang supaya bisa
dimanfaatkan.
Menyamak kulit
binatang ialah dengan terlebih dahulu disiat (disisit) kulit binatang dari
anggota badan binatang tersebut. Dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala
urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit. Kemudian
direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi
alat penyamak seperti asid dan bahan-bahan kimia sehingga tertanggal segala
lemak-lemak daging dan lendir yang melekat dikulit tadi. Kemudian angkat dan
basuk dengan air yang bersih setelah itu dijemur.
Meskipun
demikian ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam hal memanfaatkan kulit
bangkai. Sebagian ulama berpendapat boleh memanfaatkannya secara mutlak, baik
disamak maupun tidak. Menurut sebagian ulama lain, tidak boleh secara mutlak
walaupun disamak. Namun ada juga ulama yang membedakan kulit yang disamak dan
yang tidak, pendapat ini dari mazdab Imam Syafii dan Abu Hanifah.
Adapun bangkai
yang tidak dihukumi najis antara lain:
1.
Binatang laut
seperti ikan dan hewan darat seperti belalang keduanya dihukumi suci
berdasarkan hadis dari Ibnu Umar “ Dihalalkan
bagi kita dua macam bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah ikan
dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa” (H.R Ahmad, Ibnu
Majah, Baihaqi, dan Darukutni).
Pengecualian
bangkai binatang laut dari jenis dan benda najis itu beralasan dengan hadis
shahih yaitu,
Artinya “ laut itu suci dan bangkainya halal”.
(H.R Sunan Ar ba’a)
2.
Bangkai yang
tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti semut, lebah, dan belalang.
3.
Tulang, Tanduk,
Bulu, Rambut, Kuku. Berdasarkan perkataan dari Zuhri “ saya dapati orang-orang dari ulama-ulama salaf mengambilnya sebagai
sisir dan menjadi minyak, demikian itu tidak menjadi apa-apa. (H.R
Bukhori).
Dari ketiga
poin diatas, masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Namun, pendapat
yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya tersebut bukanlah najis.[4]
B. DARAH
عن
أبى هريرة رضي الله عنه, أن خولة بنت يسار قالت, يا رسول الله ليس لي إلا ثوب و
أحد و أنا أحيض فيه؟ قال فإذا طهرت فاغسلي موضع الدم ثم صلى فيه, فقالت يا رسول
الله إن لم يخرج أثر؟ قال, يكفيك الماء و لا يضرك أثره.
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra bahwa Khaulah binti Yasar berkata, ‘Ya
Rasullah, aku hanya mempunyai satu potong pakaian, dan sekarang saya haid
mengenakan pakaian tersebut.’ maka Rasulullah menjawab, ‘Apabila kamu telah suci, maka
cucilah yang terkena haidmu, kemudian shalatlah kamu dengannya.’ Ia bertanya
‘Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tidak bisa hilang>’ Rasulullah
menjawab, ‘Cukuplah air bagimu (dengan mencucinya’ dan bekasnya tidak
membahayakan (shalat)mu.’” (Shahih,
riwayat Abu Dawud dalam shahihnya)
Darah haid dan nifas adalah dua hal umum yang dijumpai kaum wanita. Namun
masih ada dari mereka yang belum mengetahui,
apakah darah haid dan nifas itu najis atau bukan, sementara hal itu sangat
penting untuk diketahui oleh mereka. Dengan adanya hadits diatas maka jelaslah
bahwa darah haid itu hukumnya ialah najis, ini diperkuat dengan pendapat
al-Imam Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam yang mengatakan bahwa hadits ini
merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.[5]
Dalam hadits tersebut diperintah untuk membersihkan dan mensucikan darah haid
yang mengenai baju atau pakaian dengan cara mengerik, menggosok, atau juga
disikat, kemudian dicuci dengan air yang dicampur daun bidara atau dengan sabun
dan yang semisalnya. Setelah itu baju tersebut dicuci seluruhnya. Dalam hadits
tersebut juga dijelaskan seandainya bekas darah itu tidak juga hilang, maka
bekas darah tersebut dimaafkan.
Darah manusia itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam
jumlah yang besar dari dalam tubuh, maka hati, jantung dan limpa tidak termasuk najis, karena bukan
berbentuk darah yang mengalir. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
قل
لا أجد في ما أوحي إلي محرما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتتا أو دما مسفوحا أو
لحم خنزير فإنه رجس او فسقا أهل لغير الله به (الأنعم: 145)
Artinya : “Katakanlah:’Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan kepada
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang
mengalir atau daging babi-karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah....’”
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai hukum darah
manusia selain darah haid dan darah nifas, serta hukum darah yang dagingnya
halal untuk dimakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa darah secara umum yang
keluar dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya untuk dimakan, adalah
termasuk dalam kategori najis. Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa
darah hukum dasarnya adalah suci, dia menjadi haram apabila dimakan, dan tidak
dihukumi sebagai najis.
C. AIR KENCING
BAYI
عن عبيدالله بن عبدالله رضي الله عنه قال:ان ام قيس اتت بابن لها صغير لم
يأكل الطعام الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فبال على ثوبه فدعا بماء فنضحه عليه
ولم يغسله. (رواه شيخان)
Dari Ubaidillah bin Abdullah ra, berkata “Bahwasannya Ummu Qais membawa
seorang anak lelakinya yang masih kecil yang belum memakan makanan pada
Rasulullah SAW. lalu anak lelaki itu kencing diatas kain Rasulullah, maka Rasul
menyuruh membawa air, lalu Rasul menyiramkan air itu diatas kainnya dan beliau
tidak membasuhnya. (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan
hadits diatas air kencing bayi laki-laki yang belum makan sesuatu apapun
kecuali ASI, termasuk pada bagian najis yang ringan (mukhaffafah), karena cara
mensucikan najis mukhaffafah adalah dengan cara memercikkan air saja. Sedangkan
air kencing bayi perempuan, termasuk pada najis mutawassithah, karena cara
mensucikannya adalah harus dibasuh.[6]
Hal ini berdasarkan hadits nabi SAW:
عن ابى السمح
رضي الله عنه قال،قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يغسل من بول الجارية ويرش من
بول الغلام (رواه ابو دود و ابن ماجه)
Dari Abu Samhi
ra, berkata: Rasulullah SAW bersabda “Harus dibasuh sesuatu yang kena kencing
anak perempuan dan dipercikkan air saja atas sesuatu yang dikencingi oleh anak
lelaki” (HR Abu Daud dan Ibn Majah).
Perbedaan cara
mensucikan antara air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan disebabkan
karena air kencing bayi perempuan baunya lebih menyengat dan relatif lebih
padat dari pada air kencing bayi laki-laki, seperti yang dikatakan oleh Ibn
Qayyim.
Para ulama’
berbeda pendapat tentang masalah air kencing ini. Al-Auza’i mengatakan bahwa
membersihkan air kencing bayi perempuan (yang belum makan sesuatu kecuali ASI)
sama seperti membersihkan air kencing bayi laki-laki (yang belum makan sesuatu
kecuali ASI), yakni cukup dengan memercikkan air saja. Imam Hanafi dan Imam
Malik berpendapat bahwa membersihkan air kencing bayi laki-laki dan bayi
perempuan haruslah dengan dibasuh yakni disamakan dengan membasuh air kencing
orang dewasa. Sedangkan Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Az-Zuhri berpendapat bahwa
membersihkan air kencing bayi laki-laki, cukup dengan dipercikkan air saja dan
jika membersihkan air kencing bayi perempuan adalah harus dengan dibasuh,
sebagaimana hadits-hadits diatas.[7]
D. NAJISNYA AIR
LIUR ANJING
قال
رسول الله ص م: طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن
بالتراب. (رواه مسلم و أحمد و أبو داود و البيهقى)
Artinya: “Telah bersabda Rasulullah saw:’Mensucikan
bejanamu yang dijilat oleh anjing, ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah’” (HR.
Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Anjing adalah
hewan yang lucu, sangat bersahabat, dan bisa dipercaya. Sebagian orang mungkin
biasa mengungkapkan rasa sayang terhadap anjing mereka dengan membiarkannya
keluar masuk rumah mereka, berkeliaran disekitar rumah mereka, bahkan
bersentuhan langsung dengan tubuh mereka. Bagaimana seandainya ada anjing yang
tidak sengaja masuk kedalam rumah seorang Muslim dan menyentuh bahkan menjilati
beberapa barang didalam rumah mereka?
Berdasarkan
hadits yang telah disebutkan diatas, bahwa hendaknya kita mencuci bejana atau
segala barang yang dijilat anjing dengan tujuh kali cucian menggunakan air
bersih dimana salah satu dari tujuh kali itu harus disertai dengan debu/tanah
suci yang bisa merata ke tempat yang terkena najis.[8] Kata
thuhur atau thahur yang berarti mensucikan, memberi pengertian
bahwasannya anjing adalah najis. Perkataan thuhur dipakai adakalanya
buat mensucikan hadats, atau mensucikan najis.[9]
Mencuci dengan
tanah maksudnya ialah mencampurkannya kedalam air hingga menjadi keruh. Jika ia
menjilati kedalam bejana yang berisi makanan, hendaklah dibuang yang terkena
najis dan sekelilingnya, sedangkan sisanya tetap bisa dimakan.
Ada perbedaan
pendapat dikalangan para ulama mengenai najisnya seekor anjing. Ada ulama yang
mengatakan bahwa seluruh tubuh anjing merupakan najis, namun ada juga yang
berpendapat bahwa najis anjing itu hanya air liur dan mulutnya saja.
a.
Mazhab
al-Hanafiyah
Dalam mazhab
ini, yang najis dari seekor anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan
kotorannya. Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis.
Kedudukannya sebagimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfaat
banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atapun hewan untuk berburu.
Alasan dari
pendapat ini adalah karena hadits yang berbicara mengenai najisnya anjing, yang
ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air, maka
hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang dianggap
najis.
b.
Mazhab
al-Malikiyah
Mazhab ini juga
mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja.
Bila air liur anjing jatuh masuk kedalam wadah air, wajiblah dicuci tujuh kali
sebagai bentuk rituan pensuciannya.
c.
Mazhab
as-Syafi’iyah dan al-Hanabilah
Kedua mazhab
ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi
seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan
hewan lain yang kawing dengan anjingpun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk
mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan
tanah.
Logika yang
digunakan oleh mazhab ini ialah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang
najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu
dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang
keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran maupun keringatnya.[10]
Selain itu,
ulama juga berbeda pendapat mengenai banyaknya basuhan dan penggunaan tanah
dalam membersih bejana yang terkena air liur anjing.
DAFTAR
PUSTAKA
Sabiq,Sayyid.Fikih Sunnah 1, diterjemah oleh
Mahyuddin Syaf.Bandung:PT Alma’arif.
Ishaq Muslim
Hafaizhahullah,Abu. Najis Mudah di Jumpai Jarang di Kenali.ForumSalafy.net-Menjalin
Ushuwah Diatas Minhaj Nubuwah.
Sabi,Sayyid.1990.Siqih
Sunnah I.Bandung: PT Alma’rif.
Muhammad Hasbi
as-Shiddiqi,Tengku.1994.Koleksi Hadits-Hadits Hukum.Jakarta:PT Magenta
Bhakti Guna.
Muhammad bin
Qasim al-Ghazy,Asy-Syekh.1991.Fat-hul
Qarib, diterjemah oleh Achmad Sunarto.Surabaya:al-Hidayah.
M Hasbi
ash-Shiddieqy,T.1981.2002 Mutiara Hadits jilid II.Jakarta:Bulan Bintang.
Ahmad,Sarwat.2009.Fiqih
Thaharah.DU Center.
Rifa’i,Moh.Ilmu Fiqih Islam Lengkap.Semarang: CV
Toha Putra.
Rasjid,Sulaiman.1984.Fiqh
Islam.Jakarta: Kurnia Esa.
Ummu Sufyan
Rahmawati,Woly bintu.http://muslimah.or.id.
[1] Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah 1, diterjemah
oleh Mahyuddin Syaf (Bandung:PT Alma’arif), halaman 45.
[2] Moh.
Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap
(Semarang: CV Toha Putra), halaman 47-49.
[3]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Kurnia Esa,1984), halaman 23.
[4] Woly
bintuUmmu Sufyan Rahmawati, http://muslimah.or.id.
[5] Abu
Ishaq Muslim Hafaizhahullah, Najis Mudah di Jumpai Jarang di Kenali, ForumSalafy.net-Menjalin
Ushuwah Diatas Minhaj Nubuwah.
[6] Sayyid
Sabi, Siqih Sunnah I (Bandung: PT Alma’rif, 1990), halaman 50-51.
[7] Tengku
Muhammad Hasbi as-Shiddiqi, Koleksi Hadits-Hadits Hukum (Jakarta:PT
Magenta Bhakti Guna, 1994) halaman 52-54.
[8] Asy-Syekh
Muhammad bin Qasim al-Ghazy, Fat-hul
Qarib, diterjemah oleh Achmad Sunarto (Surabaya:al-Hidayah, 1991)
halaman 97-98.
[9]
Prof.Dr.T.M Hasbi ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits jilid II (Jakarta:Bulan
Bintang, 1981), halaman 93.
[10] Ahmad
Sarwat, Lc.,Fiqih Thaharah (DU
Center, 2009), halaman 89-90.
0 Komentar untuk "MAKALAH Tentang Najis (Hadits Ahkam)"