MAKALAH “Hadhanah & Radha'ah”

Posted by at 1 komentar
MAKALAH
“Hadhanah & Radha'ah”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ahkam




NAMA KELOMPOK:
1.    Muhammad Sadid Nidlom F           U20162007
2.    Anki Khotibul Fawaid                     U20162003



PRODI ILMU HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
JEMBER

2017

Rodho’ah
Rodho’ah (bisa dibaca ridho’ah) secara bahasa merupakan sebutan bagi menghisap puting susu dan peminuman susu yang keluar darinya. Dan secara istilah rodho’ah  ialah nama bagi sampainya air susu seorang perempuan atau sesuatu yang dihasilkan dari susu tersebut terhadap tenggorokan (jauf) seorang anak kecil.  Maka dari itu, karena adanya hubungan yang seperti demikian antara seorang perempuan dan anak yang disusuinya maka timbullah hubungan mahram diantara mereka berdua.
Mengenai hubungan mahram diantara kedua belah pihak ini, sebelum adanya ijmak dari ulama’, Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah terlebih dahulu menjelaskan hal tersebut didalam nas-nasnya yang shorih. Contoh sebagaimana yang terdapat didalam firman Allah berikut.
{وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ} [النساء: 23]
“dan diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu yang menyusuimu dan saudara-saudara perempuan sepersusuan”(QS.An-Nisa’:23)

Rodho’ merupakan sebab terjadinya hubungan mahram, karena air susu dari seorang perempuan merupakan bagian dari dirinya. Ketika air susu tersebut sampai pada seorang bayi, maka air susu tersebut akan menjadi bagian dari si bayi. Hal ini karena air susu dari seorang wanita serupa dengan mani dan darah haidnya. Maka dengan demikian diharamkan diantara keduanya untuk menikah, dan dibolehkan untuk melihat dan berkholwat, juga tidak batalnya wudu’ mereka dengan sebab menyentuh satu sama lain.
Hal ini juga dijelaskan oleh sabda nabi yang berbunyi:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِنْتِ حَمْزَةَ: «لاَ تَحِلُّ لِي، يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ، هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ»
“ Nabi SAW bersabda mengenai tentang putri Hamzah “dia tidak halal bagiku, diharamkan sebab rodho’ah yaitu seseorang yang diharamkan disebabkan oleh nasab,dan dia(putri Hamzah) merupakan putri dari saudara sepersusuanku” (HR. Bukhori)

Dari hadits tersebut bisa kita ketahui bahwasanya hubungan mahram yang tercipta disebabkan oleh rodho’ah ini tidak hanya berlaku bagi radli’dan mardlu’ saja, melainkan hubungan mahram tersebut juga menjalar kepada setiap keluarga dari kedua belah pihak dan ini sebagaimana hubungan mahram yang terjadi diakibatkan oleh hubungan nasab.
Contohnya adalah ibu, saudara perempuan, anak dan lain sebagainya yang mana mereka haram dinikahi dikarenakan memiliki hubungan nasab. Maka demikian pula ibu, saudara perempuan, anak dan seterusnya dari hubungan rodho’ah juga diharamkan untuk dinikahi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis diatas.
Tidak seluruhnya dari mahram nasab ini bisa disamakan dengan rodho’ah tetapi ada sebagian hubungan yang tidak berlaku mahram terhadap rodho’ah sebagaimana yang dijelaskan oleh  Muhammad Asyraf didalam kitabnya yang bernama Aunul Ma’bud fi Syarhi sunan Abi daud didalam menyikapi ke-umuman hadits tersebut.
Muhammad Asyraf memberikan penjelasannya mengenai hadits ini dengan mengutip pendapat Ibnu Hajar bahwasanya “dari hadits يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ dikecualikan empat orang perempuan yang mana mereka dihukumi mahram didalam nasab, namun tidak sampai dihukumi mahram didalam rodho’ah”
1. Ibunya saudara didalam nasab hukumnya mahrom karena adakalanya dia adalah ibu atau istrinya ayah
2. Ibunya cucu didalam nasab hukumnya mahrom karena adakalanya dia adalah anak perempuan atau istrinya anak
3. Neneknya anak didalam nasab hukumnya mahrom karena adakalanya dia adalah ibu atau ibunya istri
4. Saudaranya anak didalam nasab dihukumi mahrom karena adakalanya anak perempuan atau anak tiri perempuan

Didalam kitab tahqiq penjelasan mengenai hadits tersebut memang tetap pada keumumannya sehinggi didalam pemahan hadits tersebut tidak ada yang dikecualikan, namun didalam menanggapi permasalahan empat orang yang dikecualikan oleh al-bukhori dan yang lainnya maka pengarang kitab ini berpendapat bahwasanya mereka(empat orang tsb) bukan merupakan seorang muhrim diakibatkan oleh hubungan nasab melainkan dikarenakan hubungan mushoharoh(pertalian pernikahan).
Imam nawawi berkata hadits ini merupakan dalil atas diharamkannya menikahi seseorang  yang memiliki hubungan rodho’ah(mahrom)  dihalalkannya untuk melihat dan kholwat dan juga musafaroh. tetapi hal ini tidak berlaku terhadap setiap hukum yang berlaku bagi seseorang yang memiliki hubungan nasab, seperti saling menerima waris, wajib salah satunya menafkahi yang lainnya, memerdekakan dari seorang tuan, dan gugurnya qishoh sebab membunuh salah satu dari keduanya.
Didalam hukum rodho’ah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus terpenuhi agar seseorang bisa disebut memiliki hubungan persusuan yang yang nantinya akan dihukumi memiliki hubungan mahram dengan yang lainnya. Berikut adalah pemaparan beberapa rukun yang dijelaskan oleh Al-Imam Taqiyyudin Abu bakar bin muhammad Al-Husainiy didalam kitabnya yang berjudul kifayatul akhyar.
1. Murdli’ah (orang yang menyusui)
Didalam rukun murdli’ah terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi agar menjadi satu rukun yang utuh diantara rukun-rukun rodhoah. Antara lain
1) Murdli’ah adalah seorang perempuan Apabila yang menyusui bukan seseorang perempuan maka tidak terjalin hubungan mahram.
2) Murdli’ah adalah perempuan yang masih hidup. Apabila perempuan yang menyusui sudah mati maka tidak terjalin hubungan mahram.
3) Murdliah adalah seorang yang berpotensi untuk hamil, maksud dari berpotensi disini ialah seorang wanita yang umurnya telah menginjak usia haid, meskipun dia belum baligh, baik seseorang yang perawan maupun janda, baik seseorang yang bersuami maupun tidak.
2. Laban (Susu)
Didalam rukun yang kedua ini tidak disyaratkan ketika sampainya susu pada seorang harus tetap seperti asalnya, maka apabila air susu tersebut mengalami perubahan seperti berubah menjadi asam, menjadi keras atau berubah menjadi keju ataupun busa dan kemudian bayi itu memakannya maka hal tersebut tetap bisa mengakibatkan hukum mahram karena masuknya susu pada perut si bayi dan menghasilkan taghaddi(memiliki sumber energi) bagi si bayi. dan disyaratkan dalam hal ini agar bayi tersebut meminumnya sebanyak lima kali.
3. Ash-shobi (Anak kecil)
Didalam rukun yang ketiga ini didalam menyikapi keberadaan si bayi maka diberilah tiga qoyyid(batasan) yang harus terlaksana agar bisa menjadi satu rukun yang utuh. Qoyyid tersebut antaralain:
1) Masuknya susu pada perut si bayi baik dengan cara menyusu, memeras, mengalirkan, bahkan menuangkan melewati hidungnya kemudian sampai pada perutnya maka tetap akan mengakibatkan hubungan mahrom
2) Bayi tersebut masih belum mencapai umur dua tahun berdasarkan sabda nabi:
«لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ، مَا أَنْشَزَ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ» رواه الدرقطني
“tidak ada hubungan rhodho’ kecuali ketika bayi berumur dua tahun”

3) Bayi yang menyusui merupakan bayi yang hidup. Apabila air susu tersebut masuk ke perut bayi yang sudah mati maka tidak akan berpengaruh terhadap hukum mahram. Kemudian mengenai syarat dari radla’ yang dapat menimbulkan hukum mahram yaitu dengan lima kali susuan ini merupakan pendapat imam syafi’i dan merupakan pendapat yang benar. Dan ada juga yang berpendapat sampai tiga kali susuan dan ada pula yang mengucapkan satu kali susuan.

Hadhonah
Hadhonah secara bahasa ialah lambung karena orang yang mengasuh anak(bayi) akan menaruh anak tersebut disamping lambungnya dan masa perawatannya akan usai setelah anak kecil tersebut mencapai batas tamyiz. Adapun setelah anak tersebut mencapai batas tamyiz hingga baligh maka perawatannya tidak dinamai sebagai hadhonah lagi melainkan sebagai kafalah sebagai mana yang dikatakan oleh imam mawardi. Adapun selain mawardi maka tetap menyebutnya sebagai hadhonah.
Secara istilah hadhonah memiliki arti menjaga seseorang yang tidak bisa melakukan pekerjaan-pekerjaannya sendiri dan juga mendidik orang tersebut mengenai sesuatu-seuatu yang seharusnya ada padanya. Dalam hal ini seorang perempuan lebih berhak terhadap anak kecil itu karena seorang wanita lebih memiliki rasa kasih sayang dan juga lebih terarah dan lebih sabar didalam hal mendidiknya dan lebih cocok terhadap seorang anak kecil. Dan hal ini sesuai dengan hadits yang menjelaskan mengenai pengasuhan terhadap anak yang kedua orang tuanya bercerai.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي»
Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya seorang wanita berkata “wahai utusan Allah, sesungguhnya perutku ini merupakan bejada dari anak ini, dan putingku merupakan wadah air baginya, dan pangkuanku merupakan rumah baginya, dan sesungguhnya ayahnya telah mentalaq-ku, dan dia hendak mengambil anak ini dariku. Maka Rasulallah berkata pada wanita tersebut “ engkau lebih berhak terhdap anak ini selama engkau menikah”(HR. Abu Daun & Ahmad)

Muhammad bin Isma’il Al-Hasany berpendapat bahwasanya hadits tersebut merupakan dalil bahwasanya seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya apabila seorang suami hendak membawa anak tersebut. Kemudian perempuan tersebut menjelaskan beberapa penjelasan yang membuatnya lebih berhak dan lebih diprioritaskan untuk mengasuh anak tersebut kepada Rasulallah. Dan Rasulallah menetapkan hukum tersebut kepada wanita itu. Maka penjelasan didalam hadits tersebut memiliki makna yang  berkenaan dengan hukum. Dan illat dan yang dijadikan acuandidalam penetapan hukum tersebut ialah sebuah fitrah
Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya apabila seorang ibu dari anak tersebut telah melakukan pernikahan maka hak didalam memelihara anaknya tersebut mejadi gugur dan inilah pendapat yang disepakati oleh jumhur.
Ibnu Mundzir berkata bahwasanya “orang-orang yang menghafal hadits ini yakni dari golongan ahli ilmu ber-ijma’ bahwasanya hadhonah tidak akan gugur dengan adanya pernikahan dan mereka berargumen bahwasanya hal tersebut terjadi pada anak perempuan dari Anas bin Malik. Begitu pulayang terjadi pada Ummu salamah ketika dinikahi oleh nabi, maka anaknya tetap berada dalam tanggungannya. Begitu pula anak perempuan dari hamzah, nabi memutuskannya tetap berada dalam tanggunagn bibinya yang telah menikah. Begitu juga pendapat yang disampaikan oleh Al-Hasan dan Ibnu hazm.
Menurut Syekh abu bakar Al-Hasany didalam kitab kifayah Al-Ahyar menyebutkan mengenai tentang rentetan penanggung jawaban anak dari yang lebih berhak untuk mengasuhnya sebagai berikut. Ibu, kemudian ibu dari ibu, ayah, ibu dari ayah, saudara perempuan dari bayi, saudara perempuan dari ibu, dan saudara perempuan dari ayah sebagaimana yang terdapat didalam nash. Adapun saudara laki-laki dan paman bersama anak-anak dari mereka maka hukumnya seperti ayah dan kakek didalam permasalahn ini, dan yang lebih didahulukan yaitu orang-orang yang lebih dekat kepada si bayi. Dan yang disebut lebih dekat disini ialah berdararkan urutan dari hak waris menurut nash yang ada.

Syarat-syarat Hadhanah
Syekh Abi Suja’ didalam kitab momentalnya yang berjudul Taqrib atau Al-Ghoyah Al-Iqtishor menjelaskan mengenai tentang Syarat-syarat yang harus dipenuhi didalam hadhonah. Berikut merupaan syarat-syarat tersebut sekaligus penjelasannya oleh syekh Muhammad Asy-Syarbini.
A. Berakal. Maka, pertanggung jawaban anak tidak boleh di berikan kepada orang yang gila meskipun gilanya terputus-putus karena hadhonah ini tergolong akad perwalian dan karena orang yang gila tidak bisa menjaga dan mengasuh makhdun bahakan orang tersebut seharusnya juga menjadi makhdun.
Namun, apabila kegilaan orang tersebut hanya  sedikit seperti gila sehari didalam satu tahun maka dia masih memiliki hak untuk menjaga seorang anak.
B. Merdeka. Maka, pertanggung jawaban anak tidak boleh di berikan kepada seorang budak meskipun budak tersebut memiliki statu budak muba’ad, dan meskipun budak tersebut diberi ijin bagi majikannya karena dia pasti akan disibukkan dengan berkhidmat kepada majikannya.
C. Beragama Islam. Maka, pertanggung jawaban anak tidak boleh di berikan kepada orang yang kafir karena dikhawitran menimbulkan fitnah didalam agama anak tersebut. Maka dari itu orang yang lebih pantas mengasuh anak tersebut adalah kerabat-kerabat yang  pling dekatdengannya.
D. Iffah & Amanah. Dalam  hal ini Mushonnif(Abi suja’) mengumpulkan iffah dan Amanah didlam satu sub karena ketika seseorang memiliki salah satunya pasti yang lainnyapun akan dia miliki Iffah Ialah menahan diri dari sesuatu yang tidak halal dan yang tidak terpuji, dan adapun amanah ialah kebalikan dari khiyanat. Maka Afif pasti dia amanah dan begitupun sebaliknya
Syekh Muhammad Asy-Syarbini mengomentarai mengenai hal ini. “apabila didalam sub ini ditambah dengan syarat yang ketiga yakni Adil maka akan lebih baik dan ringkas
Maka, pertanggung jawaban anak tidak boleh di berikan kepada orang yang fasiq karena orang yang dihadonah tidak akan bahagia dengannya sebab ketidak bahagiaan tersebut akan muncul dari cara mengasuh yang ia gunakan. Dan yang dimaksud Adil cukup hanya adil secara dhohirnya sajasebagaimana yang disyaratkan terhadap wali nikah.
E. Bermukim didalam satu tempat. Yakni berada didalam negara yang sama dengan si bayi. Gambaran mengenai hal ini yaitu seumpama kedua orang tua dari anak tersebut berada didalam negara yang sama dengan si anak. Apabila salah satu dari mereka hendak melakukan perjalanan seperti haji dan berdagang, maka yang lebih utama untuk mengasuhnya ialah yang tidak melakukan perjalanan , baik anak tersebut belum tamyiz maupun seudah tamyiz
F. Tidak menikah. Yakni dengan seseorang yang berhak untuk mengasuh anak tersebut. Maka orang yang pada mulanya boleh mengasuh anak tersebut apabila dia telah menikah dengan orang tersebut, maka haknya dalam mengasuh menjadi gugur meskipun lelaki tersebut belum me-wathi’-nya dan meskipun dia ridho’ anak tersebut memasuki rumahnya. Namun apabila yang menikahi wanita tersebut merupakan orang yang masih memiliki dengan si bayi maka hak asuh dari wanita tersebut tidak gugur. Seperti menikahi saudara dari suami atau anak dari saudara suami tersebut.










Daftar Pustaka
Abu Bakar Al-Husainiy, Kifayah Al-Akhyar,(Surabaya: Maktabah Al-Hidayah)
Abu Daud, Sunan Abi Daud,(Beirut: Al-Maktabah Al-Asriyah)
Al-Anshori, Zakaria, Asna Al-Matholib,(Dar Al-Kitab Al-Islami)
Al-Bukhori, Muhammad bin Ismail, Shohih Al-Bukhori,(Dar Touq An-Najah, 1422.H)
Asy-Syarbini, Muhammad bin Ahmad Al-Khotib, Al-Iqna’ fi Halli Al-fadzi Abi Suja’,(Beirut: Dar Al-Fikr)
Asyraf, Muhammad, Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunan Abi Dawud,(Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah,1415H)
Muhammad bin Isma’il Al-Hasany, Subulu As-Salam, (Dar Al-Hadits)

tags :

1 Komentar untuk "MAKALAH “Hadhanah & Radha'ah”"

makalah bagus dan bermanfaat trimakih...

Back to Top